Lesung Dan Alu Alat Penumbuk Padi Jaman Dulu
Mayoritas penduduk Indonesia, khususnya di Jawa memiliki makanan pokok berupa beras yang berasal dari padi. Bahkan pada masa lalu padi merupakan salah satu jenis tanaman yang mendapatkan perlakuan sangat khusus oleh masyarakat Jawa. Ia dianggap memiliki jiwa atau ruh. Ia dianggap sebagai pengejawantahan dari Dewi Sri, Dewi Welas Asih, atau Dewi Kesuburan. Oleh karenanya tiap bagiannya dianggap memiliki kegunaannya sendiri-sendiri. Mulai dari kulit luar padi (sekam), kulit yang agak kasar (dedak), kulit ari (bekatul), butir inti (beras), tangkai padi (merang), batang tanaman padi (damen/jerami) semuanya dapat dimanfaatkan. Itulah kemurahan Dewi Kesuburan/Dewi Sri.
Padi yang telah kering kemudian ditumbuk dengan menggunakan alat yang berupa lesung dan alu. Pada masa lalu belum ada alat bermesin yang dinamakan huler atau penggiling padi. Untuk mendapatkan butiran beras orang harus menumbuk gabah. Tidak mengherankan pada masa lalu di desa-desa di Jawa (tidak hanya Jogja) hampir selalu terdengar suara duk-duk, bunyi yang dihasilkan oleh bertumbuknya ujung alu dengan lesung atau lumpang. Suara semacam ini akan terdengar bersahutan di pagi hari atau subuh. Umumnya kaum ibulah yang melakukan penumbukan ini sebagai bagian dari kerja harian untuk menyiapkan makanan bagi anggota keluarganya.
Di waktu senggang banyak juga di antara mereka yang menumbuk padi sebagai cara untuk mengumpulkan cadangan makanan yang dapat digunakan sewaktu-waktu. Pekerjaan seperti itu kadang-kdang juga diburuhkan kepada orang lain dengan upah yang tidak selalu berwujud uang, namun berupa beras atau bekatul.
Kadang didapatkan lesung panjang yang dapat menampung 3-6 hentakan alu sekaligus. Dengan demikian diperoleh proses pengupasan gabah yang lebih cepat dengan kapasitas yang lebih banyak pula. Hanya saja dalam kondisi seperti itu diperlukan lebih banyak tenaga manusia.
Dalam kondisi seperti itu orang-orang yang sedang menumbuk padi bisa saling berbincang, bersenda gurau, berbagi cerita, dan sebagainya. Alhasil kerukunan dan kedekatan emosional antarorang atau antarwarga kala itu demikian terasa. Kini lesung, alu, lumpang dan sebangsanya dapat dikatakan sudah kehilangan peranannya. Semuanya telah digantikan oleh mesin. Praktis, cepat, murah, tidak melelahkan. Hanya saja mesin huler sering tidak bisa menghasilkan bekatul yang baik karena semuanya bercampur dengan dedak.
Foto ini menampilkan profil penumbuk padi dalam masyarakat pedesaan di Jawa yang sangat umum pula terjadi di Yogyakarta tempo dulu. Kebersahajaan yang berhasil direkam kamera seolah ingin bercerita betapa tenteram dan damainya desa dan rumah tangga Jawa di tempo dulu. Ibu dan anak begitu dekat (lihat anak yang tenang dalam gendongan yang disambi menumbuk padi oleh ibunya). Tetangga juga begitu dekat hubungannya (amati kesan damai dua orang yang tengah menumbuk padi).
Kini suasana semacam itu sudah amat sulit kita temukan di desa-desa di Jawa. Mekanisasi yang menjadi ujung utama modernitas telah meninggalkan teknologi sederhana jauh melesat ke depan. Romantisme masa lalu menjadi kenangan purba yang meskipun jauh tak tergapai namun sering menimbulkan kerinduan juga. Kenangan itu menjadi kesan emosional yang pada hakikatnya juga tidak bisa ditinggalkan oleh manusia semodern apa pun manusia itu.
Padi yang telah kering kemudian ditumbuk dengan menggunakan alat yang berupa lesung dan alu. Pada masa lalu belum ada alat bermesin yang dinamakan huler atau penggiling padi. Untuk mendapatkan butiran beras orang harus menumbuk gabah. Tidak mengherankan pada masa lalu di desa-desa di Jawa (tidak hanya Jogja) hampir selalu terdengar suara duk-duk, bunyi yang dihasilkan oleh bertumbuknya ujung alu dengan lesung atau lumpang. Suara semacam ini akan terdengar bersahutan di pagi hari atau subuh. Umumnya kaum ibulah yang melakukan penumbukan ini sebagai bagian dari kerja harian untuk menyiapkan makanan bagi anggota keluarganya.
Di waktu senggang banyak juga di antara mereka yang menumbuk padi sebagai cara untuk mengumpulkan cadangan makanan yang dapat digunakan sewaktu-waktu. Pekerjaan seperti itu kadang-kdang juga diburuhkan kepada orang lain dengan upah yang tidak selalu berwujud uang, namun berupa beras atau bekatul.
Kadang didapatkan lesung panjang yang dapat menampung 3-6 hentakan alu sekaligus. Dengan demikian diperoleh proses pengupasan gabah yang lebih cepat dengan kapasitas yang lebih banyak pula. Hanya saja dalam kondisi seperti itu diperlukan lebih banyak tenaga manusia.
Dalam kondisi seperti itu orang-orang yang sedang menumbuk padi bisa saling berbincang, bersenda gurau, berbagi cerita, dan sebagainya. Alhasil kerukunan dan kedekatan emosional antarorang atau antarwarga kala itu demikian terasa. Kini lesung, alu, lumpang dan sebangsanya dapat dikatakan sudah kehilangan peranannya. Semuanya telah digantikan oleh mesin. Praktis, cepat, murah, tidak melelahkan. Hanya saja mesin huler sering tidak bisa menghasilkan bekatul yang baik karena semuanya bercampur dengan dedak.
Foto ini menampilkan profil penumbuk padi dalam masyarakat pedesaan di Jawa yang sangat umum pula terjadi di Yogyakarta tempo dulu. Kebersahajaan yang berhasil direkam kamera seolah ingin bercerita betapa tenteram dan damainya desa dan rumah tangga Jawa di tempo dulu. Ibu dan anak begitu dekat (lihat anak yang tenang dalam gendongan yang disambi menumbuk padi oleh ibunya). Tetangga juga begitu dekat hubungannya (amati kesan damai dua orang yang tengah menumbuk padi).
Kini suasana semacam itu sudah amat sulit kita temukan di desa-desa di Jawa. Mekanisasi yang menjadi ujung utama modernitas telah meninggalkan teknologi sederhana jauh melesat ke depan. Romantisme masa lalu menjadi kenangan purba yang meskipun jauh tak tergapai namun sering menimbulkan kerinduan juga. Kenangan itu menjadi kesan emosional yang pada hakikatnya juga tidak bisa ditinggalkan oleh manusia semodern apa pun manusia itu.