Negeriku Ber-Ketuhanan, Tapi Manusianya Saingi Tuhan
Terlanjur membuat setting negara ber-Tuhan, tapi wacana tentang Tuhan dan ajarannya hanya dispekulasikan. Tuhan bahkan di Karang atau diciptakan sendiri.
Tuhan harus mengikuti macam-macam pendapat manusia tentang diriNya. Seakan-akan manusia menemukan Tuhan melalui riset akademis dan investigasi ilmiah. Seakan-akan manusia sanggup mengenali Tuhan, malaikat, surga, neraka, konsep dosa dan pahala, setan, jin, malaikat dan lain sebagainya melalui upaya perspektif manusia sendiri.
Di ujung seluruh kenyataan itu, berbenturan yang dialami manusia adalah soal "kebahagiaan yang sejati". Persyaratan untuk bahagia tidak secara mendasar dipenuhi. Tidak berlangsung pendidikan sejarah yang mendorong dan menolong manusia untuk memenuhi dirinya dalam koordinat kenyataan hidup di mana ia terletak.
Manusia juga menjadi tidak memiliki peluang untuk memahami dan mengadaptasikan dirinya pada syariat sosial, sehingga ia temukan pula pola manajemen dirinya secara baik.
Istilah syariat sosial sengaja dipakai untuk memudahkan asosiasi pembedaan antara tata nilai horizontal dengan tata nilai vertikal, serta komprehensi dan interaksi interdependensi antara keduanya. Untuk mencapai kebahagiaan, umumnya orang mengandalkan tiga-ta; harta, tahta dan wanita.
Apakah yang dalam syariat horizontal disebut menguntungkan? Menurut tolak ukur vertikal merugikan. Melakukan salat itu tidak produktif, wasting time dan nguyoworo, menurut pandangan mata horizontal.
Mendapatkan uang yang banyak dan memasukkan ke kantor menurut tolak ukur horizontal adalah keuntungan yang berakibat kegembiraan. Tetapi mengeluarkan uang dari kantong tanpa disertai janji laba horizontal apa-apa, menurut syariat vertikal adalah sebuah keberuntungan kelegaan dan kegembiraan.
Itu sekedar contoh sederhana. Manusia cenderung mempersaingkan dirinya dengan Tuhan dalam konsep, wacana dan manifestasi tentang kebahagiaan. Apakah tuhan marah? Tuhan tampaknya "cool cool" saja membiarkan diriNya disaingi.
Manusia menempuh mengejar, merampas, segala sesuatu yang ia anggap sebagai onderdil kebahagiaan. padahal Tuhan berkata sebaliknya. Kelak manusia terjebak dan frustasi sendiri di masa tuanya, kemudian membungkuk-bungkukan minta ampun. Tentunya Tuhan menyediakan 5 sifat pengampunan pula. Hanya Abu Nawas yang sanggup mengalahkan Tuhan soal harta dan kebahagiaan. Ia teriak-teriak bahwa ia lebih kaya dari Tuhan. Setelah ditangkap polisi ia berargumentasi "menurut Tuhan harta yang termahal adalah anak yang sholeh dan solehah. Dan saya punya 12 anak yang soleh solehah sedangkan Tuhan tidak punya satu pun."