Sistem Pengolahan Sampah 3R (Reduce, Reuse, Recycle)
Pada tingkat oprasional, sistem pengolahan sampah terpadu merupakan kombinasi dari sistem pengolahan sampah dengan cara daur ulang, pengkomposan, pembakaran (incinerator) dan sistem pembuangan akhir dengan cara sanitary landfill.
Pendekan ini merupakan manifestasi dari sistem 3R yang saat ini sudah merupakan konsensus internasional yaitu: Reduce, Reuse, Recycle atau 3M (mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang).
Program mengurangi atau minimasi sampah dapat dimulai sejak pengumpulan, pengangkutan dan sistem pembuangan sampah. Dengan demikian program pengelolaan sampah ini dapat dilakukan di setiap tahapan sistem pengelolahan sampah.
Idelanya dengan pengurangan sampah ini sudah dapat dimulai sejak awal dari sumbernya, yaitu sejak pewadahan sebagai bagian dari subsistem terdepan. Hal ini berhubungan langsung dengan peran serta masyarakat sebagai penghasil sampah itu sendiri. Kegiatan ini melibatkan kita semua, karena kita semua adalah penghasil sampah atau sumber sampah tersebut.
Namun, peran serta masyarakat yang baik hanya dapat di capai apabila sistem yang tersedia sudah baik. Hal ini merupakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Sebagai contoh untuk mempercepat berjalannya program 3R sebaiknya sampah sudah mulai dipilah sejak dari sumbernya misal dari rumah tangga.
Pemilahan sampah minimal dilakukan dengan memilah menjadi dua jenis yaitu sampah kering (anorganik) dan sampah basah (organik), lebih baik lagi kalau sudah di pilah menurut komponennya seperti sampah kertas, plastik, gelas, metal dan sampah basah yang mudah membusuk.
Dalam pemilahan sampah, tidak hanya di perlukan peran serta masyarakat, tetapi juga di perlukan sistem pengolahan sampah yang sudah memadai, baik berupa sarana-sarana fisik ataupun peralatan maupun sarana non fisik yang berupa penyuluhan, pengawasan, pemantauan dan peraturan yang berjalan baik secara profesional, tidak secara kwantitatif saja.
Dari hasil penelitian BPPT, terbukti bahwa peran serta masyarakat dalam pemilahan sampah harus di tunjang dengan penyediaan sarana yang sudah terpilah juga, seperti misalnya tempat sampah terpilah, grobag terpilah, jadwal pengangkutan yang berbeda dan kosistensi atau kesinambungan sistem dari mulai proses kompos, daur ulang, pembakaran dan pembuangan akhir. Dengan kata lain, masyarakat akan memberikan peran serta yang baik bila pihak pengelola kebersihan telah menyediakan sistem yang baik pula.
Khusus untuk kasus Indonesia, peran serta pemulung dan pengusaha daur ulang sampah harus mendapat perhatian, mengingat kedua aktor ini telah melakukan sesuatu kegiatan daur ulang sampah, meskipun sebagian besar masih sektor informal.
Dengan demikian yang harus berperan dan saling mengisi dalam program minimisasi sampah ini yaitu: pemerintah, masyarakat, pengusaha daur ulang, dan pemulung.
Untuk kota mtropolitan, khususnya kota-kota seperti Jakarta yang sudah terlanjur membuat TPA di wilayah tetangga, ketergantungan terhadap TPA harus sudah mulai di kurangi. Program pencegahan pencemaran dan pengurangan sampah sudah merupakan alternative jalan keluar yang mutlak harus dilaksanakan.
Pengurangan sampah di sumbernya yang dilanjutkan dengan pengelolahan kompos, daur ulang dan pembakaran akan mengurangi kebutuhan lahan untuk TPA dan mengurangi biaya transportasi.
Sebagai ilustrasi apabila di perkirakan produksi sampah di Jakarta 6500 ton/hari akan memerlukan lahan TPA 200 Ha/tshun (dengan asumsi tinggi tumpukan 2 meter dan sistem open dumping). Selain itu karena lokasi TPA cukup jauh jumlah trip kendaraan truk hanya dilakukan sekali sehari, sehingga memerlukan truk sekitar 2000 truk sampah. Padahal saat ini yang tersedia hanya 500-700 truk buah.