--> Skip to main content

Analisis struktur fisik dan struktur batin puisi Senja di Pelabuhan Kecil Karya Chairil Anwar

Beberapa hari ini saya disibukan oleh blog baru saya "kusumawardani,net" (blog yang mengusung tema seputar ilmu dan teknologi), rindu rasanya saya bercuap-cuap mengenai ilmu sastra. Memang tidak bisa di bohongi latar belakang penulis akan membentuk karakter dan ciri tulisan. Sehingga akhirnya saya menyempatkan diri kembali ke jalur sastra dan pada kesempatan yang baik ini saya akan menganalisis tentang puisi Senja di Pelabuhan Kecil Karya Chairil Anwar.

Mengapa saya ingin menganalisis puisi tersebut?

Alasanya sangat simpel, kemarin saya menonton video di youtube tentang apresiasai puisi, yang kebetulan puisi yang dibawakan atau dibacakan adalah puisi Senja di Pelabuhan Kecil Karya Chairil Anwar. Saya sendiri sedikit merasa ironi, sebab banyak dari mereka yang belum memahami secara mendalam puisi ini, sehingga dalam pengaplikasian apresiasi puisi ini menjadi kurang sesuai.

Sebelum kita menganalisis puisi ini maka tidak ada salahnya saya menuliskan puisi ini terlebih dahulu.
Senja Di Pelabuhan Kecil 
Buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut 
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. 
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap 
Karya : Chairil Anwar (1946)




Secara sepintas lalu dapat saya rasakan bahwa puisi diatas mempunyai kepaduan dan harmoni antara struktur fisik dan struktur batin. Puisi "Senja di Pelabuhan Kecil Karya Chairil Anwar" cukup intens bahasanya.

a. Struktur fisik

Bahasa yang digunakan adalah bahasa prismatis. Penyair memilih kata-kata yang menyebabkan pembaca berpikir dulu untuk memahami makna. Makna kata-kata kebanyakan makna kias dan makna lambang. Namun karena disusun dengan cukup bervariasi dengan makna lugas, puisi diatas menjadi puisi gelap.

Diksi yang digunakan penyair adalah kata-kata muram. Diksi tentang kemuraman itu dipantulkan kepantai: gudang, rumah tua, tiang, temali, kapal, perahu, laut, kelam, kelepak elang, tanah, air tidur, hilang ombak, ujung dan pantai.

Karena bernada muram maka ketenangan kalimat di letakan diawal bait atau awal baris pertama tiap bait. Sebagai berikut;
Ini kali .......................................... (keterangan waktu)
diantara gudang ............................ (keterangan tempat)

Gerimis mempercepat .................. (keterangan keadaan)
Tiada lagi ...................................... (keterangan keadaan)
Kata-kata yang digunakan penyair juga menimbulkan sugesti kepada pembaca. penggunaan kata-kata dengan vokal akhira /a/ mensugesti pembaca untuk turut berduka cita. Sebagai berikut;
Senja ........ tidak ada yang mencari cinta
diantara gudang rumah tua pada cerita
tiang serta temali. Kapal prahu tiada berlaut
.................. dalam mempercaya mau berpaut
Penggunaan perumpamaan dengan nama benda-benda di sekitar pelabuhan dan laut juga menimbulkan daya sugesti. Sebagai contoh;
Pelabuhan kecil, gudang, tiang, temali, kapal, perahu, laut, berenang, ombak, semenanjung, ujung, dan pantai (keempat)
Kata-kata yang berhubungan dengan pantai, pelabuhan dan laut itu digunakan penyair untuk mengungkapkan perasaannya yang duka dan sepi. 

Ungkapan-ungkapan yang baru penyair juga menambah daya sugesti kata-kata. Sebagai contoh ungkapan-ungkapan;
pelabuhan kecil
tidak ada yang mencari cinta
rumah tua
prahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
gerimis mempercepat kelam
kelepak elang menyinggung muram
desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan
air tidur (karena) hilang ombak
pengap harap
dari pantai keempat sedu penghabisan bisa terdekat
Sejauh yang kita ketahui, ungkapan-ungkapan diatas adalah khas ciptaan penyair dan bukan jiplakan dari penyair lain. Daya sugesti yang diciptakan oleh ungkapan-ungkapan tersebut cukup besar. Dengan demikian puisi tersebut memantulkan kedukaan yang sepi yang di ungkap deng gaya khas Chairil Anwar.

Pengimajian dan kata kongkrit tidak memperkabur makna yang hendak di sampaikan. Bayangan cinta yang hilang diperkongkrit dengan pernyataan berikut ini;
Ini kali tidak ada yang mencari cinta/ diantara gudang rumah tua pada cerita/ tiang serta temali/ kapal, prahu tiada berlaut.
Kata kongkrit tersebut menimbulkan pengimajian dalam bayangan pikiran pembaca. Kesepian dan kedukaan penyair mirip dengan suasana pelabuhan dengan gedung, rumah tua, tiang, temali, dan perahu yang tanpa laut. Sepi yang dilukiskan adalah sepi yang mencekam. Bagimana bayangan kita jika prahu itu tidak berlaut? Penyair merasakan sepi yang penuh kedukaan, maka imaji sepi itu ditutup dengan: /menghebus diri dalam mempercaya mau berpaut/.

Imaji visual dengan lukisan dan benda-bendanya, diperkuat dengan imaji auditif sehingga pembaca seolah mendengar bunyi gerimis dan bunyi kelepak elang yang "menyinggung muram". Suasana sepi ini lebih diperkongkrit lagi dengan; /dan kini tanah, air tidur, hilang ombak/. Bayang kita melayang kepantai dan semakin jelas bahwa di pantai tiada keceriaan, tiada kehidupan, muram dan sepi. Begitu juga kiranya jiwa penyair saat itu.

Pada bait ketiga imaji visual diajak membayangkan penyair yang berjalan seorang diri sehingga kita ikut merasakan kesedihan dan kesendiriannya.
tiada lagi/Aku sendiri. Berjalan/menyisir semenanjung, masih pengap harap/.
Keduanya itu terpantul begitu jauh dan mendalam. penyair mengakhiri puisinya dengan kedudukan yang sangat dalam; /dari pantai keempat sedu penghabisan bisa terdekap/. Dengan menyatakan kedudukan itu dapat didekap dari pantai keempat, penyair memperkongkrit intensitas kedudukannya yang begitu dalam.

Bahasa figurasi yang dipergunakan juga cukup memeperjelas, membuat intens, dan tidak mengganggu pemahaman makna. Ungkapan-ungkapan baru khas Chairil Anwar yang disebut di atas dapat kita pandang sebagai kiasan-kiasan yang cukup menghidupkan suasana. Lambang-lambang yang digunakan tidak mencontoh penyair sebelumnya dan di ungkapkan secara hidup karena tidak mengganggu keharmonisan komposisinya.

Kata "senja" melambangkan berpisahnya suatu hubungan yakni hubungan percintaan. "Pelabuhan kecil"  melambangkan harapan akan cinta itu kecil saja. Kisah cinta yang putus itu menjawab kepastian bahwa harapan akan cinta yang samar-samar itu akhirnya putus. "prahu tiada berlaut" melambangkan hati yang tiada keceriaan dan tiada kegembiraan karena hilangnya cinta.

Kata "gerimis" melambangkan kedukaan. Kata "kelepak elang" juga melambangkan kedukaan yang bercampur dengan kesepian yang mencekam. Kata "air tidur" dan "hilang ombak" mempertegas suasana sepi dan duka yang mencekam itu. Jadi lambang benda, lambang alam, dan lambang suasana dipadu dalam keharmonisan untuk mensugesti pembaca dalam menghayati kedukaan dan kesepian mencekam.

Gaya bahasa hiperbola kita jumpai pada kalimat "dari pantai keempat sedu penghabisan bisa terdekap" ternyata mampu memberikan gambaran yang tepat tentang kedukaan penyair yang mendalam.

Versifikasi dalam puisi ini masih mengikuti pola lama. Rima akhir dari setiap bait adalah sebagai berikut; /ta-ta-ut-ut/ (aabb), /ang-ang,ak,ak/ (aabb), dan /an-apan-ap/ (abab)/. Pola ini mengingatkan kita pada syair pantun dan puisi baru. Namun karena struktur lainya tidak sama, maka puisi ini bukan puisi lama ataupun puisi baru. Pola rima akhir pada bait ketiga berubah menjadi /abab/ bukan /aabb/ bukan seperti pada bait pertama dan kedua karena bait ketiga ini merupakan puncak ungkapan penyair dalam puisi ini. Jika pada bait kedua dan pertama kedukaan itu dipantulkan pada pelabuhan dan pantai, maka pada bait ketiga ini kedudukan itu dipantulkan pada diri sendiri. Kedalam diri sendirilah kedudukan itu akan berakhir.

Ritma puisi berupa ikatan yang mengikat bait dengan menggunakan keterangan kalimat. Pada bait pertama digunakan frasa / ini kali/, pada bit kedua digunakan /gerimis/, sedangkan pada bait ketiga digunakan /tiada lagi/. Setiap bait puisi itu diikat dengan kata pengikat sehingga pada permulaan bait seakan muncul sebuah gelombang irama baru.

Tipografi puisi "Senja dipelabuhan kecil" adalah tipografi puisi konvensional. Adanya titik di tengah baris menunjukan bahwa gagasan pada suatu baris dilanjutkan dengan baris berikutnya melalui susatu enyambemen. Gagasan-gagasan yang beruntun di kemukakan dalam suatu baris, misalnya pada baris berikut ini;
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang
Kelamnya hati penyair oleh karena adanya gerimis, langsung disusul oleh bunyi kelepak elang yang lebih memperkelam suasana hati penyair. Pada bait ketiga bahkan ada dua titik dalam baris pertama karena gagasan penyair beruntun dan tersendat-sendat;
tiada lagi, aku sendiri, berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
Ungkapan bahwa dia sendiri perlu disertai pernyataan bahwa tidak ada lagi harapan dan bahwa ia melangkah di pantai dalam kesendirian dan kekosongan jiwa.

Struktur Sintaktik tiap-tiap bait mudah di telaah seperti halnya puisi-puisi dengan tipografi konvensional yang lain. Kesatuan gagasan pada tiap bait itu dibentuk oleh kesatuan baris-baris yang membentuk struktur sintaksis.

Bait pertama mengungkapakan gagasan tentang kedukaan yang dipantulkan pada lingkungan yang belum menentu. Gagasan itu dipantulkan pada alam yang bisu di pelabuhan , yakni: gudang, rumah tua, tiang serta temali, kapal dan perahu. Penyair belum memfokuskan luapan dukanya itu kepada siapa. Kalau dilihat dari tanda titik yang ada dalam bait ini, maka bait ini terdiri atas dua kesatuan sintaksis, yakni: /ini kali tidak ada yang mencari cinta diantara gudang, rumah tua pada cinta tiang serta temali/ dan /kapal, perahu tiada berlaut, menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut/. Kedua kesatuan sintaksis ini mengungkapkan hal yang lebih luas dari dua kalimat.

Bait kedua puisi ini mengungkapkan tiga kesatuan sintaksis, yakni; /Gerimis memeprcepat kelam/, /ada juga kelepak elang yang menyinggung muram, desir hari lari berenang, menemu bujuk pangkal akanan/ dan /Tidak bergerak, dan kini, tanah, air tidur hilang ombak/. Pokok pikiran utama masih kedukaan. Pada kesatuan sintaksis pertama gerimis menambah kedukaan itu. Pada kesatuan sintaksis kedua, kelepak elang menyebabkan kemuraman dan menyebabkan desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Sedangkan pada kesatuan sintaksis ketiga, diceritakan sesuatu yang tidak bergerak atau sesuatu tidur karena tanah. Air tidur hilang ombak. Makna bait ini jauh lebih luas daripada tiga kesatuan sintaksis yang dituliskan ini.

Bait ketiga menunjukan tiga kesatuan sintaksis. Kesatuan pertama dan kedua sangat pendek, namun merupakan pokok pikiran yang penting. Kesatuan sintaksis ketiga sangat panjang dan merupakan penjelasan terhadap kedua kesatuan sintaksis terdahulu. Tiga kesatuan sintaksis itu, ialah; /tiada lagi/ , /Aku sendiri/ dan /Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap, sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan, dari pantai keempat sedu penghabisan bisa terdekap/. Pusat gagasan penyair adalah pada /Aku sendiri/. Mengapa sendiri? Karena tiada lagi (kekasih). Lalu, bagaimana setelah aku sendiri saja? Aku berjalan menyisir semenanjung (dengan disertai perasaan yang) masih pengap harap. Namun bagaimana kemudian? Ternyata sekali tiba di ujung, sekalian (harapan itu sudah tidak ada, maka hanya tinggal ucapan) selamat jalan. Karena itu, sedu (tangis penyair yang) penghabisan, dari pantai keempat bisa terdekap.

B. Struktur Batin Puisi

Puisi ini, Bertema kedukaan karena kegagalan cinta. Atau juga dapat dibalik: tema cinta yang gagal sehingga menimbulkan kedukaan. Kedukaan hati penyair itu sangat mendalam. Hal ini dapat kita buktikan setelah kita menelaah struktur bahasa penyair. Diksi, pengimajian, kata kongkret, majas, dan struktur sintaksis dari puisi ini mendukung kedudukan penyair yang mendalam. Dengan demikian, interprestasi tentang tema itu dapat dibenarkan.

Jika kita uraikan bait demi bait, maka struktur tematik atau struktur semantik puisi ini adalah sebagai berikut:
Bait pertama
Setelah menyebut keduakaan karena kegagalan cintanya dengan Sri Ayati, penyair merasa kehampaan dalam hatinya. Cintanya sudah hilang, kisah masa lalu yang indah (rumah tua pada cerita), yang dulu dipenuhi hubungan cintanya dengan sang kekasih (pada cerita tiang serta temali) kini telah tiada lagi. Kenangan tetang cintanya itu (gudang) sangat memukul hatinya. Hatinya tidak lagi dipenuhi keceriaan, harapan, dan hiburang (menghembus diri) bagaikan perahu yang tidak mempunyai laut. Penyair kehilangan kepercayaan kepada cinta (dalam mempercaya mau berpaut). Hatinya beku seperti mati, tanpa harapan, karena orang yang dicintainya telah meninggalkan diri penyair (kapal yang tidak berlaut seperti halnya hidup yang tidak berarti).

Bait kedua
Duka hati penyair menambah kelamahan dalam jiwanya. Karena sepi dan kelam itu, suara kelepak elang dapat di dengarkan. Suara itu lebih memeperdalam kedukaannya, membuat hatinya lebih muram. Harapan-harapan untuk jumpa kekasih timbul tenggelam seperti hari lari berenang, namun kemudian muncul bujuk pangkal akanan. Penyair masih di ombang-ambing antaranya munculnya harapan kembali untuk bercinta dengan sang kekasih dngan putusnya harapan itu. Tetapi kemudian disadari, bahwa harapan yang timbul tenggelam harus dilupakan karena kekasihnya tidak akan kembali lagi. Tanah, air tidur, hilang ombak. Jika pada bait pertama prahu kehilangan laut, kini tanah dan pantai itu kehilangan ombak. Cinta penyair tinggal bertepuk sebelah tangan bagaikan pelabuhan yang airnya tidur karena hilang ombak. Cinta yang bertepuk sebelah tangan akan menimbulkan kedukaan yang sangat mendalam.

Bait ketiga
Kekelaman dan rasa mencekam karena cintanya yang gagal itu direnungi sendiri. Dia masih sering mengharapkan cintanya akan kembali padanya. Dalam kesendirian dan kehampaan itu, ia merasa suatu ketika sang kekasih akan menemaninya (pengap harap), namun demi mendengar jawaban Sri Ayati bahwa dia sudah punya calon suami, kembalilah harapan penyair itu musnah. Kehilangan harapan itu di pertegas dengan /sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan/.

Dari penjelasan uaraian bait pertama, kedua dan ketiga maka jelas sudah struktur tematik atau struktur semantik puisi ini.

Perasaan penyair pada waktu menciptakan puisi ini dapat kita rasakan juga sewaktu membahas bait demi bait. Perasaan sedih, sepi dan menyendiri.

Nada puisi ini adalah bercerita sambil maratap. Penyair menceritakan kegagalan cintanya disertai ratapan yang sangat mendalam, bahwa oleh kegagalan itu hatinya benar-benar terluka dan tangisannya benar-benar sangat kuat.


Mbak Syahdu menyimpulkan bahwa amanat yang terkandung dalam puisi ini ialah penyair ingin mengungkapkan kegagalan cintanya yang menyebabkan hatinya sedih dan tercekam. Kegagalan cita itu menyebabkan seseorang seolah-olah kehilangan segala-galanya. Cinta yang sungguh-sunggug dapat menyebabkan seseorang menghayati apa arti kegagalan secara total.

Demikian analisis puisi Senja di Pelabuhan Kecil Karya Chairil Anwar, semoga setelah membacanya, para apresiator puisi menjadi lebih paham lagi makna yang terkadung dalam puisi ini. Dengan memahami makna puisi ini secara utuh, maka apresiasi puisi ini akan menjadi lebih menadalam lagi.

Kiranya itu saja yang dapat saya sampaikan, ada kurang lebihnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pembaca blog saya ini (mbak syahdu).

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar