contoh makalah krisis sastra indonesia pada periode 1950-an
Pada tahun 1950-an, ada orang yang mengatakan bahwa ada krisis kesusastraan. Namun, ada juga orang yang mengatakan bahwa tidak ada krisis kesusastraan. Orang tidak akan mengatakan ada yang tidak dilihatnya ada, atau yang menurut anggapannya tak ada. Adanya kebenaran pada kedua pihak yang bertentangan dengan itu, ternyata pula dari bukti- bukti yang masing-masing dapat dikemukakan. Dalam angkatan ‘50-an terdapat banyak perbedaan pendapat dari tokoh-tokoh angkatan itu. Perbedaan pandangan, prinsip, bahkan ada atau tidaknya krisis kesusastraan pada saat itu perlu ditemukan dan dibahas kembali. Perkembangan sastra Indonesia periode 1953-1961 adalah Masa Perkembangan, menurut Ajip Rosidi. Olehnya, pembabakan ini digunakan istilah “periode” dan bukan “angkatan” karena terdapat kekacauan dalam penggunaan istilah “angkatan”. Dalam periode 1953-1961 terdapat beberapa gejolak sastra yang salah satu di antaranya merupakan istilah atau sebutan “Angkatan Terbaru” pada masa itu.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan perkembangan dunia sastra pada
tahun 1950-an yang di kala itu terdapat berbagai masalah yang berpengaruh pada kehidupan sastra pada masa itu. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas kuliah Perkembangan Sastra Indonesia.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perkembangan dunia sastra pada masa itu?
2. Bagaimana penjelasan tentang masalah-masalah sastra pada masa itu?
BAB II
PERISTIWA DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA TAHUN1950-AN
Krisis Sastra Indonesia Lingkungan kebudayaan Gelanggang Seniman Merdeka mulai kehilangan vitalitasnya setelah Chairil Anwar meninggal dunia. Dua orang, Asrul Sani dan Rivai Apin, yang diharapkan dapat melanjutkan kepeloporan Chairil Anwar justru menjadi pasif dalam berkarya. Pada saat itu pula, situasi nasional memburuk. Banyak pemimpin yang mulai kehilangan semangat mengisi kemerdekaan. Keberanian untuk korupsi dan manipulasi mulai mengotori pikiran dan tindakan para pemimpin. Kepentingan golongan pun mulai ditonjolkan. Pada April 1952 diselenggarakan sebuah simposium tentang “kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang” di Jakarta. Simposium ini diselenggarakan oleh golongan-golongan kebudayaan Gelanggang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pujangga Baru. Beberapa di antara pembicaranya adalah Sutan Takdir Alisjahbana, M. Said, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, dan St. Sjahrir. Dalam simposium itu dilontarkan istilah “krisis akhlak”, dan “krisis ekonomi”. Pada tahun berikutnya, 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah simposium tentang kesusastraan Indonesia. Asrul Sani, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Prof. Dr. Wertheim bebicara pada simposium itu. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan “impasse” (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia”. Persoalan tentang krisis pun semakin ramai dibicarakan ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Soedjatmoko menulis sebuah esai yang berjudul “Mengapa Konfrontasi” dan dimuat di majalah tersebut. Dalam esainya ia melihat tanda- tanda bahwa krisis dalam sastra sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia juga berkata bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil, sedangkan roman-roman besar tiada ditulis. Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh secara tandas menolak penamaan “krisis sastra”. Bagi mereka sastra Indonesia sedang hidup dengan subur. Begitu juga H.B. Jassin mengemukakan sebuah prasaran berjudul “Kesusastraan Indonesia Modern Tidak Ada Krisis” dalam simposium sastra pada Desember 1954. Jassin tidak setuju dengan sebutan impasse dalam kehidupan sastra Indonesia. Sitor Situmorang pun berpendapat bahwa sastra Indonesia bukan mengalami krisis sastra, melainkan krisis ukuran menilai sastra. Pendapat itu ia kemukakan dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis H.B. Jasssin” di majalah Mimbar Indonesia pada 1955. Sitor menganggap krisis dalam diri H.B. Jassin karena ukurannya tidak matang. Pada masa ini pula banyak pengarang yang meragukan kualitas penilaian H.B. Jassin. Hal tersebut sangat terlihat dari beberapa penolakan hadiah dari penerima hadiah yang diberikan oleh majalah Sastra yang saat itu H.B. Jassin sebagai juri pemberian hadiah. Mereka, di antaranya adalah Motinggo Boesje dan Virga Belan, melakukan penolakan atas hadiah yang diberikan oleh Sastra. Penolakan itu mereka sampaikan dengan surat yang ditujukan kepada ketua redaksi Sastra, H.B. Jassin. Motinggo Boesje yang kala itu menjadi pemenang kedua untuk jenis cerpen mengatakan H.B. Jassin secara sadar atau tidak sadar memberikan hadiah seperti orang pulang dari rumah judi dalam keadaan mengantuk. Boesje juga berkata bahwa penolakan itu merupakan isyarat agar Jassin bangun dari “kantuknya”, terutama adar sastra Indonesia, sastrawan Indonesia, para sarjana kaum intelektual sastra bangun dari kantuknya untuk melihat kenyataan dan hari depan sastra Indonesia pada tujuaannya. Sastra Majalah Sejak tahun 1953, Balai Pustaka kedudukannya tidak menetu. Penerbit ini berkali-kali mengalami perubahan status. Ditambah lagi, penempatan pimpinan yang bukan ahli serta anggaran yang tidak mencukupi, menyebabkan kemacetan produksi. Oleh karena itu, aktivitas sastra terutama hanya dalam maja;ah-majalah seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Karangan-karangan yang dapat dimuat pun akhirnya hanya dalam bentuk sajak, cerpen, dan karangan lain yang tidak begitu panjang sesuai kebutuhan majalah. Para pengarang pun lebih produktif berkarya di sektor tersebut. Keadaan seperti itu menyebabkan munculnya istilah “sastra majalah” yang pertama kali dipopulerkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “Situasi 1954” yang dimuat di majalah yang dipimpinnya, Kompas. Para pengarang setelah Angkatan ’45 menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak menguntungkan kehadirannya. Meskipun mendapat tempat di halaman- halaman majalah, ruang kreativitas mereka tetap terbatas, terutama untuk mencari identifikasi diri dan kawan-kawannya. Hal itu disebabkan oleh redaksi majalah- majalah pada saat itu dipimpin oleh para pengarang Angkatan ’45. Majalah Kisah yang eksis pada 1953 hingga 1956 memiliki peranan cukup besar karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang berawal dalam majalah ini. Selain itu, terdapat majalah mahasiswa Kompas yang setelah dipimpin oleh Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya- karya sastra. Kemudian, ada majalah Prosa pimpinan Ajip Rosidi, ruangan kebudayaan Genta dalam majalah Merdeka asuhan S.M. Ardan, majalah Seni, majalah Konfrontasi, majalah Tjerita, dan majaah Budaya serta beberapa majalah yang sudah lama, seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, dan Indonesia. Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia Istilah “Angkatan Terbaru” muncul pada tahun 1960. Beberapa pendapat mengatakan istilah ini mencuat disebabkan oleh Ajip Rosidi yang memberikan prasaran “Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia” di dalam Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa 1960. Padahal, di dalam prasaran itu telah Ajip kemukakan dengan tegas bahwa judul prasaran dan istilah “Angkatan Terbaru” adalah perumusan pihak panitia simposium, tepatnya orang itu adalah Nugraha Notosusanto. Secara eksplisit pun Nugroho pernah mengemukakan pendapatnya mengenai soal “krisis dalam kesusastraan Indonesia” dengan kelahiran “angkatan baru” sesudah Angkatan ’45 dalam sebuah karangan yang ditujukan kepada sahabatnya, Ramadhan K.H Manipol di Kongres BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) Dalam kongres BMKN bulan Juli 1960 di Bandung, tercatat merupakan kongres terakhir, Orang-orang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) mengajukan sebuah usul resolusi yang intinya agar BMKN menerima Manipol (Manifesto Politik) dan Usdek sebagai landasan kegiatan kerjanya di masa depan. Heboh masalah usul resolusi seputar Manipol membawa dampak yang menarik perhatian dari para peserta kongres. Pada sidang terakhir pleno Kongres BMKN 1960 beredar selebaran stensilan berbentuk sebuah puisi. Ini merupakan usul resolusi lain mengenai Manipol dan Usdek yang telah diajukan kepada sidang rapat pleno. Resolusi dalam Puisi ditandatangani oleh lima penyair, yaitu Dodong Djiwapradja, Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., Toto Sudarto Bachtiar, dan Saini K.M. Tokoh dan Peran Tokoh Iwan Simatupang menunjukkan tren baru dan membawa udara baru bagi dunia sastra, dengan memperlihatkan corak yang unik dengan pemikiran yang bernas dan orisinal. Warta Harian edisi 5 Agustus 1970 menulis ‘Pribadinya penuh idealisme bahkan optimisme, tetapi dalam hidupnya sering menunjukkan paradoks dengan jalan pemikirannya sendiri.” Iwan Simatupang gagal menjadi dokter dan tidak jadi rahib juga, walaupun dia pintar dan jenius, itu menjadi inspirasi dan dituangkan ke novel Merahnya Merah. Pada Juni 1953 dilaksanakan simposium di Amsterdam tentang kemunduran, impas, krisis dalam seni dan kesusastraan. Berbeda dengan eksistensi Pramoedya Ananta Toer yang sedang meningkat dengan penerbitan buku-bukunya.karyanya
mendapat hadiah pertama sayembara yang diadakan Balai Pustaka, Dia jang Menjerah, yang
diterbitkan ole Pustaka Rakyat, Pertjikan Revolusi, Gapura. Aris Siswo adalah pengarang cerita pendek yang pandai menggunakan peristilahan- peristilahan dari dunia penerbangan (Majalah Kisah 1954), selain istilah-istilah ilmiah juga banyak istilah musik, seni lukis dan lain-lain. Banyak pula metafor baru dibentuk dari peristilahan cabang-cabang kesenian tersebut. Pada tahun ‘50-an, filsafat barat dan timur berpengaruh pada kebudayaan Indonesia baru. Keduanya membentuk pandangan
hidup yang diperlukan manusia. Ini disebabkan oleh keterbukaan dan kesempatan yang diberikan kepada keduanya untuk berkembang di Indonesia. Kedua filsafat menyebabkan pendangkalan, yaitu tidak adanya hubungan dengan Tuhan, hingga kesusastraan hanya berupa lukisan manusia sebagai manusia. Dalam karangannya “Ke Mana Arah Perkembangan Puisi Indonesia” dalam Bahasa dan Budaya Th.II Nomor2, Desember 1953, Slametmuljono menganggap dengan positif filsafat eksistensialisme yang mempengaruhi kesusastraan Indonesia satu bahaya. Kata Slametmuljono, filsafat ekstensialisme memutuskan hubungan manusia denga Tuhan, yang berakibatny adalah kedangkalan hidup. Rosihan Anwar dalam tajukrencana Pedoman 7 Desember 1954 mengatakan bahwa H.B Jassin ‘memujikan pengarang-pengarang baru yang banyak memberi harapan’ dan ‘menarik batas pemisah antara pengarang-pengarang baru itu dengan angkatan pengarang sebelumnya’. H.B. Jassin menyatakan bahwa Nugroho yang menerangkan pembagian 45-50 dan 50-54 dalam majalah Kompas. Dinyatakan bahwa tahun 50-51-52 diduga dimaksudkan oleh simposium di Amsterdam ditandai oleh krisis, tahun-tahun yang dimaksudkan melahirkan hasil-hasil, juga tahun-tahun sesudahnya, baik yang berupa buku maupun yang termuat di majalah-majalah. H.B. Jassin tidak membandingkan tahun-tahun sesudah 50 dan sebelum 50, satu hal yang disesalkan oleh Beb Vuyk. Rosihan mengatakan ‘alangkah tepatnya peralihan dari satu angkatan ke angkatan berikut’, seolah H.B. Jassinlah yang menentukan angkatan. Angkatan maupun pengarang perseorangan menyatakan dirinya sendiri dan jika terjadi demikian, ia akan menyatakannya. Rosihan menunjukkan adanya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat karena masyarakat baru sampai pada kulitnya saja dari Barat, belum sampai pada intinya dan menjadikannya darah daging milik masyarakat sendiri. Ketegangan-ketegangan itulah menurut Rosihan yang disebut juga krisis, ‘krisis yang terdapat di segala lapangan, termasuk juga krisis di lapangan kesusastraan.’ Mengenai kuantitas pada umumnya orang-orang berpendapat sama bahwa ada kegiatan tahun-tahun 1950 dan sesudahnya, kecuali Beb Vuyk dalam Indonesia Raya pada tahun 1954, menyatakan bahwa yang hendak menindaknya dengan mengatakan bahwa karangan- karangan Pramoedya yang dikemukakan H.B. Jassin sebelumnya, begitu juga karangan-karangan pengarang lain yang terbit di masa itu menurut Beb Vuyk ditulis sebelum 1950. Dengan demikian, Beb Vuyk hendak mengatakan bahwa tahun 50-51-52 memang tahun- tahun yang kosong sama sekali. Dia adakan perbedaan antara tahun terbit suatu buku dan kapan selesainya ditulis oleh pengarang, dan jika dia hendak lebih teliti lagi dia dapat adakan perbedaan pula mengenai kapan bermainnya cerita, apakah bermain di masa revolusi, di waktu Jepang atau di zaman kolonial dan misalnya hanya menghitung apa yang bermain di masa revolusi. Menurut Beb Vujk : dengan memakai hasil-hasil Pramoedya Ananta Toer, Jassin mencoba membuktikan bahwa tidak ada krisis kesusastraan. Dalam tahun 1949 diterbitkan tidak kurang dari 7 hasil-hasil karangannya, satu produksi yang hebat dan dapat dimengerti sebagai reaksi seorang seiman terhadap revolusi dan perang. Beberapa bulan sebelum penyerahan kedaulatan, Pram dibebaskan dan ketika itu selesai manuskrip- manuskrip beberapa novel dan dalam bulan-bulan kemudian dia menulis seakan ada satu ‘demam penciptaan’. Dalam karangannya “Krisis H.B. Jassin”, dimuat dalam Mimbar Indonesia Th. IX No.2-3, 15 Januari 1955, Sitor Situmorang berpendapat bahwa krisis kesusastraan tidak ada dan tidak pernah ada, hanya yang ada ialah krisis ukuran. Sitor memberikan karakterisasi tentang H.B. Jassin sebagai kritikus dan bagi H.B. Jassin agak sukar untuk membicarakan dirinya sendiri. Perbedaan H.B. Jassin dengan Sitor cukup jelas, di mana ukuran Sitor adalah ukuran seniman dan seni, berdasarkan pula satu pandangan hidup tertentu, sedang bagi H.B. Jassin tidak hanya nilai seni yang dicari tetapi banyak lagi analisis-analisis lain yang menentukan nilai. Selain itu, ukuran seni pun tidak hanya satu dan ditinjau seperti ini terus-meerus ada krisis ukuran dari sudut salah satu aliran yang hanya mengakui ukuran sendiri. Tahun 1959 buku Muhammad Ali berjudul Hitam atas Putih sesudah naskahnya yang pertama dikirimkan tujuh tahun sebelumnya kepada Balai Pustaka. Salah satu penerbit yang mencoba menerbitkan buku-buku bernilai sastra ialah N.V. Nusantara, berkedudukan di Bukittinggi-Jakarta-Medan.
Tahun 1956 terbit dari penerbit ini dalam “Seri Denai” Robohnya Surau Kami karangan A.A. Navis dan Dua Dunia Nh Dini. Namun usaha tersebut patah di tengah jalan. Trisnojuwono memberikan harapan-harapan baik dengan bukunya Laki-laki dan Mesiu juga menyodorkan kumpulan Angin Laut yang jauh di bawah nilai pada masyarakat yang mulai mengaguminya. Keduanya terbit pada Pembangunan berantara satu tahunm yang pertama terbit tahun 1957 dab yang ekdua tahun 1958. Rijono Pratikto tertarik pada kesusastraan tatkala muncul karangan-karangan Idrus dan tidaklah mengherankan jika karangan-karangannya yang pertama banyak dipengaruhi oleh
Idrus. Cerita Rijono yang pertama
berjudul “Api” pada Januari 1949, dimuat dalam Mimbar Indonesia. Saat Belanda baru melancarkan aksi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember
1948 yang dihentikan oleh Dewan
Keamanan dan suasana antara Belanda dan Indonesia. Seperti Chairil Anwar dalam Krawang- Bekasi, Rijono mengidentifikasikan
diri dengan roh orang yang mati.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan Kehidupan sastra tahun 1950-an memiliki isi yang pastinya amat berpengaruh kepada periode- periode berikutnya. Hal itu tidak dapat dipungkiri karena dilihat dari rentang waktunya yang cukup singkat namun memiliki banyak masalah dalam sastra yang terjadi kala itu. Pada periode ini pula banyak membuka wawasan pembaca tentang masalah-masalah yang pernah menjadi hiasan sastra pada masa tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan sastra sekarang ini dibesarkan oleh pemikiran-pemikiran dan masalah-masalah pada kehidupan sastra masa 1950-an.
DAFTAR PUSTAKA
Rampan, Korrie Layun. 1985. Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia. Jakarta: Yayasan Arus. Jassin, H.B. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei. Jakarta: PT Gunung Agung. Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta. Moeljanto, D.S., dan Taufiq Ismail. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Bandung: Mizan. Rosidi, Ajip. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
terimakasih telah mengunjungi blog kami jangan lupa share atau komentar.