Menganalisis Kebijakan UU No. 20 Tahun 2003 (SISDIKNAS)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aktivitas kependidikan Islam ada sejak adanya manusia itu sendiri (Nabi Adam dan Hawa), bahkan ayat Al-Qur`an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. adalah bukan perintah shalat, puasa dan lainnya, tetapi justru perintah iqra` (membaca, merenungkan, menelaah, meneliti, atau mengkaji) atau perintah untuk mencerdaskan kehidupan manusia yang merupakan inti dari aktivitas pendidikan. Dari situlah manusia memikirkan, menelaah, dan meneliti bagaimana pelaksanaan pendidikan itu.
Berdasarkan pemaparan H.A.R. Tilaar bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang esensial dalam setiap kehidupan masyarakat. Pendidikan juga merupakan kegiatan yang kompleks, meliputi berbagai komponen yang berkaitan satu sama lain. Jika pendidikan ingin dilaksanakan secara terencana dan teratur, maka berbagai elemen yang terlibat dalam kegiatan pendidikan tersebut perlu dikenali. Untuk itu diperlukan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu sistem.
Dalam pembangunan nasional, khususnya dalam sektor pendidikan, telah membuahkan banyak hasil yang membesarkan hati di samping banyak masalah yang muncul baik yang telah diperkirakan sebelumnya maupun masalah yang muncul akibat keberhasilan yang telah dicapai itu. Keberhasilan yang menonjol misalnya berhasilnya universalisasi pendidikan sekolah dasar yang telah dicapai sejak tahun 1984, dan sejak Pelita pertama jumlah murid SD telah berlipat hampir dua kali, sekolah menengah pertama 3 kali, sekolah menengah tingkat atas 4,7 kali dan mahasiswa hamper 6 kali lipat. Dalam tahun 1989 diperkirakan hampir 45 juta manusia Indonesia atau sekitar 25% penduduk Indonesia berada di berbagai jenis dan jenjang pendidikan.[4] Sungguh suatu prestasi yang menggembirakan. Hasil tersebut tidak dapat diingkari telah menaikkan taraf kecerdasan rakyat banyak seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Pendidikan nasional telah diatur dan didefinisikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 Tahun 2003. Dalam UU tersebut pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pendidikan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu, dijelaskan pula bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tersebut berkedudukan sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan setiap sistem pendidikan. UU No. 20 Tahun 2003 ini merupakan salah satu perangkat pendidikan yang sudah semestinya dirumuskan secara baik dan proporsional. Hal ini berkaitan dengan keberadaan UU Sisdiknas tersebut yang berfungsi dalam menjabarkan bagaimana tujuan Visi dan Misi Pendidikan Nasional, hingga mekanisme prosedural pendidikan diatur, dengan tidak melepaskan konteks sosial-politik saat ini dan masa depan. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa baik dan buruk sistem pendidikan dapat dilihat dari keberadaan UU dan sistem pendidikannya.
B. Fokus Kajian
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka fokus kajian dalam makalah ini adalah mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terbatas pada pasal 3, pasal 34 dan pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
C. Tujuan dan Metode Kajian
Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengedentifikasi dan mengetahui permasalahan-permasalahan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3, pasal 34 dan pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) beserta alternatif pemecahannya sehingga dapat diambil sebuah kebijakan yang tepat utuk mencapai visi dan misi Pendidikan Nasional.
Dalam kajian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan data yang diuraikan secara deskriptif. Penelitian kualitatif berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, mengadakan analisis data secara induktif, dan bersifat deskriptif berarti lebih mementingkan proses daripada hasil dan membatasi studi dengan fokus.
Karakteristik kualitatif ini adalah: Pertama, peneliti sendiri sebagai instrument pertama mendatangi secara langsung sumber datanya. Kedua, implikasi data yang dikumpulkan dalam peneltian ini lebih cenderung dalam bentuk kata-kata dari pada angka-angka, juga hasil analisisnya berupa suatu uraian. Ketiga, menjelaskan bahwa hasil penelitian kualitatif lebih menekankan kepada proses daripada hasil. Keempat, melalui analisis induktif peneliti mengungkapkan makna keadaan yang diamati.
Sedangkan uraian yang bersifat deskriptif diartikan sebagai suatu prosuder pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan faktor-faktor yang tampak atau sebagaimana adanya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kebijakan terhadap Pendidikan
Konsep “kebijakan” yang sering digunakan secara luas menurut kamus Oxford, kebijakan berarti “rencana kegiatan” atau pernyataan tujuan-tujuan ideal. Kebijakan di sini terkait dengan kebijakan publik (public policies) dan dibuat atas nama negara (state) yang dibuat oleh instrument/alat-alat negara untuk mengatur perilaku tiap orang, seperti guru atau siswa dan organisasi, seperti sekolah dan universitas.
Kajian resmi tentang kebijakan publik muncul pada tahun 1960 dengan tujuan membantu pemerintah dalam tugas-tugas pengembangan kebijakan. Sejarah tentang konsep ilmu kebijakan ditemukan dalam pembangunan negara-negara yang ekonominya sejahtera dan juga masa perang dalam alokasi-alokasi sumber daya. Tujuan utama dari ilmu kebijakan untuk menentukan secara teknis serangkaian kegiatan yang terbaik untuk diadopsi agar dapat mengimplementasikan keputusan dan mencapai tujuan. Ilmuan kebijakan diharapkan tidak hanya menjelaskan kemungkinan dampak dari serangkaian tindakan, tetapi juga memilih tindakan yang efesien menurut data/informasi yang ada. Apa yang menjadi aspirasi ilmu kebijakan adalah teknologi pembuatan keputusan dalam sektor publik agar pemerintah dapat membuat keputusan yang paling efektif biayanya (cost effective).
Menurut literatur yang fokus utamanya merujuk pada kebijakan publik, yang berarti bahwa pemerintah menghasilkan kebijakan-kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan melalui birokrasi negara. Ini adalah refleksi dari definisi kebijakan yang paling sederhana: “Apa pun yang pemerintah pilih untuk dilakukan ataupun yang tidak.”
Dengan demikian, kebijakan publik merujuk pada semua wilayah tindakan pemerintah yang membentang dari kebijakan ekonomi hingga kebijakan yang biasanya merujuk pada rubrik kebijakan sosial termasuk pendidikan. Tekanan kebijakan sebagai proses adalah merujuk pada keterlibatan politik dalam mengenali suatu masalah yang memerlukan respon kebijakan melalui tahapan formulasi dan implementasi, termasuk perubahan-perubahan yang dilakukan selama perjalanannya. Selanjutnya kebijakan itu lebih dari dokumen atau naskah, tetapi kebijakan merupakan proses atau produk.
B. Sejarah Pendidikan dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional Indonesia dimulai sejak Indonesia belum merdeka sampai sekarang. Pendidikan sebelum Indonesia merdeka dibedakan menjadi 3, yakni:
1. Pendidikan Tradisional, yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara yang dipengaruhi oleh agama-agama besar di dunia, seperti Hindu, Budha, Islam dan Nasrani (Katolik dan Protestan);
2. Pendidikan Kolonial Barat, yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara Indonesia oleh pemerintah kolonial Barat, terutama oleh pemerintah kolonial Belanda;
3. Pendidikan Kolonial Jepang, yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara Indonesia oleh pemerintah militer Jepang dalam zaman Perang Dunia II.
Setelah dibacakannya teks Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, mulailah Indonesia menyusun sistem pendidikannya secara mandiri. Pada tangal 18 Agustus 1945 Indonesia menetapkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara. UUD 1945 sendiri menjadi landasan Undang-Undang untuk mengatur Sisdiknas hingga sekarang dengan landasan pasal 31 dan 32 dalam UUD 1945 tersebut. Setelah itu pada tanggal 4 April 1950 Pemerintah RI yang berpusat di Yogyakarta mengadangkan UU No 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Kemudian UU ini di berlakukan untuk seluruh wilayah Negara kesatuan II yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1950, melalui UU No 12 tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya UU No 4 Tahun 1950 dari RI dahulu tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Setelah masuk pada zaman Demokrasi terpimpin, disamping UU No 12 Tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya UU No 4 Tahun 1950, pada tanggal 14 Desember 1961 diberlakukan UU No 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi menjadi dasar Sistem Persekolahan. Setelah itu ditahun 1965 muncul UU No 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional dan UU No 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pendidikan Nasional. Setelah itu Sisdiknas mulai berkembang menyesuaikan perkembangan SDM di Indonesia, terbukti pada tanggal 27 Maret 1989 diberlakukan UU No 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas yang didalamnya selain pendidikan sekolah, diberlakukan juga pendidikan luar sekolah guna mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tujuan dari UU tersebut.
Setelah memasuki abad ke-21 UU No 2 Th 1989 diganti dengan UU No 20 Th 2003 dan berlaku sampai sekarang. Alasan digantinya UU 1989 menjadi UU 2003 terkait tentang bab Sistem Pendidikan Nasional karena UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
C. Substansi UU No. 20 Tahun 2003
UU No. 20 Tahun 2003 sebagai produk sebuah perundang-undangan dalam mengatur sistem pendidikan nasional tersusun atas tiga kelompok bagian. Ketiga kelompok bagian tersebut terdiri daripada pendahuluan, batang tubuh, dan penutup. Berikut penjabaran atas tiga kelompok bagian daripada UU NO. 20 Tahun 2003 tersebut.
1. Pendahuluan
Bagian pendahuluan daripada UU No. 20 Tahun 2003 ini memuat bagian konsideran beserta definisi-definisi mengenai makna-makna daripada kata-kata yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini. Dalam bagian pendahuluan tepatnya untuk konsideran ini UU No. 20 Tahun 2003 ditetapkan berdasarkan berbagai aspek pertimbangan, antara lain: pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang mengamanatkan bahwa Pemerintahan Negara Indonesia berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, isi daripada UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Pemerintah perlu untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan UUD Tahun 1945 serta dengan mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD Tahun 1945.
2. Batang Tubuh
Dalam bagian batang tubuh ini dibagi beradasarkan bidang garapan Administrasi Pendidikan, antara lain:
a) Peserta Didik
Dalam bab V pasal 12 ayat 1 sampai 4 dijelaskan bahwa peserta didik memiliki hak dan kewajiban, antara lain berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai yang dianutnya, mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan minat dan bakat serta kemampuannya, bagi yang orangtuanya tidak mampu peserta didik mendapat bantuan biaya. Selanjutnya peserta didik berkewajiban menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan hasil pendidikan. Disini juga dijelaskan bahwa warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah NKRI.
b) Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Dalam bab XI pasal 39 sampai pasal 44 dijelaskan bahwa tugas pendidik pada intinya adalah melaksanakan pembelajaran dan tenaga kependidikan bertugas dalam kegiatan administrasi. Selanjutnya dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban dari pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik dan tenaga kependidikan disini ditempatkan berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal melihat dari kebutuhan daerah dimana disini pemerintah memfasilitasi segala keperluan dari pendidik dan tenaga kependidikan. Selain itu dalam hal ini dipaparkan juga mengenai ketentuan kualifikasi, promosi, penghargaan, dan sertifikasi. Pengembangan pendidik dan tenaga pendidik dalam hal ini harus mampu dikembangkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
c) Sarana dan Prasarana
Dalam bab XII pasal 45 yang terdiri dari 2 ayat dijelaskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Selanjutnya ketentuan yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana ini diatur dalam peraturan pemerintah.
d) Pendanaan Pendidikan
Dalam bab XIII pasal 46 sampai pasal 49 dijelaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggungjawab terhadap pendanaan pendidikan dalam hal menyediakan sumber pendanaan pendidikan dengan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan serta pengarahannya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengelolaan dana pendidikan, dan pengalokasian dana pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN, 20 % APBD dan hibah yang dialokasikan untuk dana penyelenggaraan pendidikan.
e) Kurikulum
Dalam bab X pasal 36 sampai 38 dijelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan peserta didik. Dalam kurikulum ini harus memuat nilai-nilai khusus yang telah disepakati dalam menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya dalam dalam struktur kurikulum pada pendidikan dasar, menengah, bahkan tinggi ini harus memuat beberapa muatan wajib berupa matapelajaran yang harus disampaikan dalam penyelenggaraan kegitan pendidikan yang dilaksanakan pada jenjang-jenjang tersebut. Lebih lanjut lagi, bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi itu sendiri dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studinya.
f) Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Dalam bab XV pasal 54 sampai pasal 56 dijelaskan bahwa hubungan sekolah dan masyarakat dalam hal ini salah satunya berupa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Melihat terdapatnya hubungan sekolah dan masyarakat maka dalam hal ini perlu adanya penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3. Penutup
Bagian penutup dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini terdiri daripada ketentuan pidana dalam bab XX pasal 67 sampai pasal 71, ketentuan peralihan dalam bab XXI pasal 72 sampai pasal 74, dan ketentuan penutup dalam pasal 75 sampai pasal 77. Ketentuan pidana berisi mengenai beberapa tindakan pidana baik berupa kurungan maupun denda terhadap segala tindakan yang melanggar peraturan mengenai penyelenggaraan pendidikan dari berbagai kegiatannya. Selanjutnya dalam ketentuan peralihan diatur mengenai pemberlakuan penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diberlakukan belum berbentuk badan hukum pendidikan, waktu perijinan selambat-lambatnya 2 tahun bagi satuan pendidikan formal yang telah berjalan namun belum memiliki ijin, dan pemberlakuan peraturan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 selama tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini. Kemudian yang terakhir dalam bagian penutup ini dipaparkan mengenai peraturan perundang-undangan yang tidak berlaku lagi setelah UU ini diterbitkan.
D. Permasalahan dalam UU No. 20 Tahun 2003 serta Kebijakan-kebijkan yang Terkait Dengannya
Salah satu alat kebijakan pemerintah yang terindependensi dengan kebijakan-kebijakan publik lainnya adalah perencanaan pendidikan. Proses perencanaan pendidikan di Indonesia diarahkan pada relevansi, efesiensi, dan efektivitas, namun optimalisasi kinerja manajemen pendidikannya belum berjalan sesuai dengan harapan.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 telah bertahan untuk saat ini kurang lebih selama 9 tahun. Angka tersebut merupakan angka yang cukup matang untuk terlaksananya suatu kualitas pendidikan yang semakin tinggi dan bermutu. Namun pada akhir-akhir ini aturan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut banyak yang kurang atau bahkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan negara Indonesia saat ini. Berdasarkan pendapat dari H. A. R Tilaar bahwa:
“Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menggarisbawahi perlunya komitmen pemerintah terhadap pendidikan namun dalam APBN/ APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah. Kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas dan demokratis sebenarnya telah tampak di dalam ketiadaan arah pengembangan pendidikan nasional.”
Pendapat dari H. A. R Tilaar di atas telah menggambarkan keberadaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 ini kurang bisa mempertahankan peraturan yang telah dimuat didalamnya untuk kondisi pendidikan di lapangan pada saat ini. Pemerintah yang semula berkomitemen untuk pendidikan, dewasa ini komitmen mereka telah memudar hingga tidak memikirkan pengembangan pendidikan nasional. Hal tersebut merupakan sebuah pemikiran kritis dan membutuhkan kebijakan-kebijakan daripada perbaikan sebuah Peraturan Perundang- Undangan.
Sebagai salah satu subsistem di dalam sistem negara/pemerintahan, keterkaitan pendidikan dengan subsistem lainnya bahkan saling membutuhkan, saling berketergantungan, dan saling melengkapi.
1. Berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja.
Hal ini terlihat dalam UU Sisdiknas N0. 20 Tahun 2003 pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) bahwa: 1) Penyelenggara dana/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 2) Badan hukum pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula 1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. 2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara ke masyarakat dengan mekanisme Badan Hukum Pendidikan (BHP), yaitu adanya mekanisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan otonomi pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Dengan demikian, sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan menentukan biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan bermutu akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial antara yang kaya dan miskin.
Di antara kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah yaitu keputusan Walikota Banjarmasin yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan biaya penyelenggaraan pendidikan, adalah: Keputusan Walikota Banjarmasin Nomor 37 Tahun 2004 tentang Penetapan Nama-Nama SD/MI Penerima Dana Alokasi Khusus Non Dana Reboisasi Kota Banjarmasin Tahun Anggaran 2004;
2. Berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandaskan sekularisme telah menyuburkan paradigm hidonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh), materialistic (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (akhlak) yang utuh berdasarkan pandangan syari`at Islam).
Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 3 yang menunjukkan paradigma pendidikan nasional. Dalam bab IV menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP No. 19 tahun 2005, UU Wajib Belajar dan UU BHP.
Dalam paradigma materialistik pun indikator keberhasilan belajar murid setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Indikator itu pun saat ini hanya pada tiga mata pelajaran saja, Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, yang ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan. Di sisi lain, aspek pembentukan kepribadian (akhlak) yang utuh dalam diri murid, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan murid dalam menempuh suatu proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar kompotensi dan kelulusan murid dalam PP No. 19 tahun 2005).
Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang di antara akibatnya menjerumuskan pelajar pada seks bebas, terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan, dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang sering kita dapatkan beritanya dalam tayangan berita kriminal di media massa, merupakan sebuah keadaan yang menunjukkan tidak relevannya sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (pasal 2 UU No. 20 tahun 2003). Sebab, kenyataannya justru memperlihatkan kontradiksinya. Murid sebagai bagian dari masyarakat mendapatkan pendidikan di sekolah dalam rangka mempersiapkan mereka agar dapat lebih baik ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum berlangsung dengan sekuler, ditambah lagi dengan proses pendidikan dalam satuan penndidikan dalam kerangka sekularisme juga, maka siklus ini akan semakin mengokohkan kehidupan sekularisme yang makin meluas. Oleh karena itu, standar kelulusan secara nasional bagi murid, hendaknya juga melibatkan assessment (penilaian) terhadap aspek kepribadian (pola pikir dan prilaku) yang telah terbentuk dalam individu murid berdasarkan hasil pendidikan (akhlak) di sekolahnya. Selain juga assessment terhadap keterampilan yang dimiliki murid untuk menempuh kehidupan di dalam masyarakat.
3. Selain itu, dalam beberapa kebijakan operasional Sisdiknas yang dikeluarkan pemerintah seperti pada pasal 34 ayat 2 bahwa: “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” ini kadangkala didukung pula oleh dana yang jumlahnya tidak sedikit, meskipun dalam implementasinya banyak masyarakat yang menilai sering terjadi salah sasaran bahkan penyimpangan karena pada saat ini dilapangan bisa dilihat bahwa di sekolah swasta itu pemerintah tidak sepenuhnya mendukung pembebasan biaya pendidikan.
Selanjutnya adalah dikembangkannya satuan pendidikan yang bertaraf internasional yaitu berdasarkan pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Hal ini mungkin suatu upaya pemerintah yang baik dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dalam hal ini para lulusan pendidikan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun apakah sudah dapat terlaksana dengan baik dan apakah tidak memberikan dampak negatif?
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) sangat berbeda dengan bentuk satuan pendidikan yang lain. Mulai dari kurikulum yang diterapkan, fasilitas serta para pendidik juga. Bahkan SBI sendiri membutuhkan banyak dana dalam pelaksanaannya, biaya yang dikeluarkan sangat besar. Tercatat, untuk memberhasilkan program ini ada dana tertentu yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat diantaranya pemerintah pusat 50%, propinsi 30%, dan kota/kab. 20%. Standarisasi persentasi sendiri masih belum jelas karena tiap-tiap SBI tentunya memiliki besaran dana yang tidak sama. SBI pada sekolah swasta akan berbeda pula besaran dananya, mengingat kucuran dari pemerintah mengalami seleksi khusus, tentunya permasalahan ini akan kembali lagi pada mampu tidaknya seseorang untuk melanjutkan pendidikan, atau dengan kata lain hanya yang kaya yang bisa sekolah sedangkan yang miskin semakin terpinggirkan.
Oleh karena itu dalam pelaksanaannya pendanaan akan dibebankan kepada masyarakat berupa mahalnya biaya pendidikan. Selain itu juga akan menciptakan jurang kesenjangan, dan membiarkan anak-anak dari kalangan miskin tergilas dalam kompetisi lantaran ketiadaan dana. Jika sudah demikian maka kesempatan untuk memperbaiki nasib melalui pendidikan tidak akan pernah terwujud karena lagi-lagi mereka harus menerima nasib sebagai orang miskin yang tak bisa mengenyam pendidikan mahal.
Upaya pemerintah mengadakan pendidikan gratis (pasal 34 ayat 2) tidak akan berjalan mulus ketika dihadapkan pada paradigma bahwa pendidikan yang berkualitas di negeri ini tidak gratis alias biayanya mahal. Perhatian yang setengah-setengah pemerintah terhadap sekolah-sekolah gratis misalnya sarana prasarananya, tenaga pengajarnya, buku diktatnya, dan sebagainya, memperkuat bahwa sekolah yang bagus itu adalah yang tidak gratis. Selama pemerintah tidak mampu mengubah paradigma tersebut maka kualitas pendidikan di Indonesia semakin tertinggal dengan negara-negara lain.
Demikianlah uraian problematika pendidikan nasional yang ditinjau dari eksistensinya sebagai suatu subsistem ternyata erat kaitannya dengan pengaruh dari subsistem yang lain (ekonomi, politik, sosial-budaya, ideologi, dan sebagainya). Sistem pendidikan nasional juga merupakan bagian dari penyelenggaraan sistem kehidupan di Indonesia saat ini.
BAB III
ANALISIS KAJIAN DAN PEMECAHAN MASALAH
A. Analisis Permasalahan pada UU No. 20 Tahun 2003
Sistem pendidikan nasional merupakan keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan aktivitas pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan nasional. Dalam hal ini, sistem pendidikan nasional tersebut merupakan suatu suprasistem, yaitu suatu sistem yang besar dan kompleks, yang didalamnya tercakup beberapa bagian yang juga merupakan sistem-sistem. Sistem pendidikan nasional bertujuan untuk memberikan arah pada semua kegiatan pendidikan dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Tujuan pendidikan nasional tersebut merupakan tujuan umum yang hendak dicapai oleh semua satuan pendidikannya. Meskipun setiap satuan pendidikan tersebut mempunyai tujuan sendiri, namun tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional.
1. Penyelenggaraan Otonomi Pendidikan
Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) bahwa: 1) Penyelenggara dana/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 2) Badan hukum pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. 4) ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab Negara melainkan diserahkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri. Kemandirian dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan kondisi yang ingin dicapai melalui pendirian BHP, dengan menerapkan MBS pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada pendidikan tinggi. Hanya dengan kemandirian, pendidikan dapat menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitasnya. [15] Artinya pemerintah menilai bahwa selama ini terhambatnya kemajuan pendidikan Indonesia di antaranya karena pengelolaan yang sentralistis sehingga perlunya kebijakan desentralisasi kewenangan untuk memajukan Indonesia.
Dengan konsep pemikiran reformasi, budaya global, dan otonomi daerah, pendidikan ke depan harus dikembangkan secara lebih realistis sesuai dengan tuntunan zaman. Kebijakan tersebut menuai berbagai sikap kontra dari masyarakat karena dinilai sarat dengan tekanan pihak asing (negara donor) yang menghendaki privatisasi lembaga-lembaga yang dikelola negara termasuk lembaga pendidikan sehingga negara pun akan lepas tangan dari tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan secara penuh.
Selain itu kebijakan otonomi pendidikan sendiri merupakan masalah yang belum tentu dapat meningkatkan mutu pendidikan, terutama bila makna otonomi itu sendiri ternyata bentuk lepas tangan pemerintah dengan menyerahkan penyelenggaraan pendidikan secara lebih besar porsinya kepada masyarakat. Padahal hakikatnya penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab negara/pemerintah sebagai pihak yang diamanahi rakyat untuk mengatur urusan mereka dengan sebaik mungkin.
2. Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaraan pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU ini pasal 49 tentang pengalokasian dana pendidikan yang menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Permasalahan yang penting untuk diperhatikan adalah alasan pemerintah untuk berupaya merealisasikan anggaran pendidikan 20% secara bertahap karena pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengalokasikan 20% secara sekaligus dari APBN/APBD. Padahal kekayaan sumber daya alam baik yang berupa hayati, sumber energy, maaupun barang tambang jumlahnya melimpah sangat besar. Akan tetapi, karena selama ini penanganannya secara kapitalis, return dari kekayaan tersebut malah dirampas oleh para pemilik modal.
B. Solusi Pemecahan Masalah
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efesiensi, hingga mutu pendidikan.
Dalam hal ini di antaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:
1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan ekonomi Islam sebagai pengganti ekonomi kapitalis akan menyelaraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital). Penerapan sistem politik Islam akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan umat oleh penguasa termasuk di antaranya dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, bukan malah sebaliknya menyengsarakan umat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengondisikan masyarakat agar memiliki kesadarn yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum Islam sehingga peran meraka dalam menyinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan memberikan teladan tentang aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh murid di sekolah. Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.
2. Solusi teknis, yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Di antaranya, secara tegas pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik umat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, pemerintah pun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah, merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka; pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan bermutu untuk menunjang proses belajar dan mengajar; serta menjamin terlaksananya pendidikan yang bermutu dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka membangun paradigma pendidikan nasional mau tidak mau harus meninjau kembali pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia. Di antara problematika yang ditinjau dari eksistensinya sebagai suatu subsistem yaitu terlihat pada UU NO. 20 Tahun 2003 pasal 53 bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara ke masyarakat dengan mekanisme Badan Hukum Pendidikan (BHP), yaitu adanya mekanisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan otonomi pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Secara garis besar ada dua solusi yaitu: solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan dan solusi teknis, yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan.
Sebagai rekomendasi, UU NO. 20 Tahun 2003 ini secara isi atau substansi masih terdapat juga kekurangan-kekurangan yang membutuhkan penyempurnaan dalam pembahasan setiap ayat dalam sebuah pasal. Kemudian yang terakhir secara empiris dengan memperhatikan kondisi rill pendidikan Indonesia saat ini UU NO. 20 Tahun 2003 ini masih memerlukan banyak perbaikan ke arah yang lebih baik lagi untuk terciptanya pendidikan yang benar-benar berlandaskan nasionalisme dalam mendukung tujuan mulia daripada penddikan itu sendiri. Dilihat dari fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia maka sangat diperlukan adanya kebijakan dan inovasi dalam dunia pendidikan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Chan, Sam M. dan Tuti T. Sam. 2011 Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
KEDI, The Long-Term Prosfect for Educational Development 1978-91.
Fattah, Nanang. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
. 2012. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 1999. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Muhaimin, Suti`ah dan Sugeng Listyo Prabowo. 2009. Manajemen Pendidikan (Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rembangy, Musthofa. 2010. Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras.
Rivai, Veithzal dan Sylviana Murni. 2009. Education Management. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sa`ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun. 2005. Perencanaan Pendidikan (Suatu Pendekatan Komprehensif). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Taylor, Sandra, et.al. 1997. Educational Policy And The Politics of Change. London and New York: Routledge.
Tilaar, H.A.R. 2009. Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta.
. 2006. Manajemen Pendidikan Nasional (Kajian Pendidikan Masa Depan). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.