Sertifikasi guru penuh noda dan pembongan publik
Sertifikasi adalah proses yang harus dilalui seorang guru untuk mendapatkan sertifikat mengajar sebagai tanda bahwa ia telah memenuhi kualifikasi guru ideal sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah, baik yang berhubungan dengan akademis, sosial dan akuntabilitas.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen, dikemukan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sedangkan sertifikasi pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Berdasarkan pengertian tersebut, sertifikat guru dapat diartikan sebagai sebagai proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kopetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang dirancang untuk mengetahui penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik.
Sertifikasi guru merupakan amanat Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pasal 61 menyatakan bahwa sertifikasi dapat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi, tetapi bukan sertifikat yang diperoleh melalui pertemuan simposium. Sertifikat kompetensi diperoleh dari penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Ketentuan ini bersifat umum, baik untuk tenaga kependidikan maupun non-kependidikan yang ingin memasuki profesi guru.
Untuk memenuhi proses sertifikasi ini, menurut pengamatan sayaketika melihat para guru yang sibuk mengikuti proses sertifikasi ini, seorang guru harus membuat portofolio yang jumlahnya banyak sekali, atau pembicara sebuah forum seminar, diskusi, konferensi dan sejenisnya; tulisan ilmiah yang pernah dipublikasikan, misal dalam media masa, diskusi, majalah jurnal dan sejenisnya. Partisipasi aktifnya di tengah-tengah masyarakat, misalnya menjadi ketua bidang pemuda dan olahraga sebuah organsasi sosial keagamaan, semacam NU, Muhammadiyah, Persis dan senisnya. Partisipasi dalam organisasi kesiswaan menjadi pembimbing karya ilmiah, penguji karya ilmiah, penasehat organisasi intrakulikuler, semisal OSIS dan sejenisnya.
Untuk memenuhi persyaratan sertifikasi ini, menurut saya, masih banyak guru yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi tersebut. Namun, karena sudah mendapat panggilan, ia bekerja siang malam untuk memenuhi persyaratan tersebut secara tidak obyektif demi memenuhi persyaratan tersebut. Karena memenuhi persyaratan secara fair membutuhkan waktu yang lama dan kesungguhan dalam belajar, maka yang ditempuh adalah jalan pintas dengan mengambil sertifikat yang bukan miliknya.
Dengan demikian, sertifikasi bukan lagi menjadi ajang dimamistis skill dan profesionalisme guru, justru sebaliknya, menjadi ajang pembohong masal yang sangat mencederai pendidikan. Guru sebagai agen pencerahan intelektual dan penjaga moralitas tega menodai visi dan misi sucinya demi mendapatkan sertifikat mengajar dengan iming-iming tunjangan yang mengiurkan.
Gara-gara program sertifikasi ini, komersialisasi acara-acara ilmiah dengan label yang menggiurkan bermunculan,. Sedikit-sedikit mengadakan pelatihan guru, diskusi, seminar, simposium dan sejenisnya dengan level regional, bahkan banyak yang nasional. Peserta dijanjikan mendapat sertifikat berlabel nasional atau regional, namun harus membayar uang adminitrasi yang lumayan mahal.
Mereka yang biasanya mengikuti acara seminar meski gratis, gara-gara sertifikasi ini, mereka sangat mengikuti acara seminar walau harus membayar mahal. Hal ini positif, namun banyak diantara mereka yang titip beli sertifikat tanpa mengikuti acara semina, diskusi, dan simposium yang dimaksud. Pesoalan materi seminar tidak penting. Lagi-lagi, disini ada pembohongan publik yang dilakukan secara sistematis.
Disinilah kebijakan pemerintah dalam sertifikasi ini perlu di kritisi agar sertifikasi ini betul-betul mampu mengugah semangat berkompetisi guru dalam meningkatkan kemampuan intelektualitas dan dedikasi sosialnya secara optimal. Bukan sebagai ajang pembohogan publik yang menodai esensi pendidikan demi mendapatkan kompensasi materi. Pemerintah seharusnyamenyiapkan infrastruktur dan suprastruktur yang mapan dan representatif sebelum melahirkan sebuah kebijakan yang bisa menyebabkan terjadinya distorsi, anomali dan ambiguitas makna.
Sekian dan terima kasih
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen, dikemukan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sedangkan sertifikasi pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Berdasarkan pengertian tersebut, sertifikat guru dapat diartikan sebagai sebagai proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kopetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang dirancang untuk mengetahui penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik.
Sertifikasi guru merupakan amanat Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pasal 61 menyatakan bahwa sertifikasi dapat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi, tetapi bukan sertifikat yang diperoleh melalui pertemuan simposium. Sertifikat kompetensi diperoleh dari penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Ketentuan ini bersifat umum, baik untuk tenaga kependidikan maupun non-kependidikan yang ingin memasuki profesi guru.
Untuk memenuhi proses sertifikasi ini, menurut pengamatan sayaketika melihat para guru yang sibuk mengikuti proses sertifikasi ini, seorang guru harus membuat portofolio yang jumlahnya banyak sekali, atau pembicara sebuah forum seminar, diskusi, konferensi dan sejenisnya; tulisan ilmiah yang pernah dipublikasikan, misal dalam media masa, diskusi, majalah jurnal dan sejenisnya. Partisipasi aktifnya di tengah-tengah masyarakat, misalnya menjadi ketua bidang pemuda dan olahraga sebuah organsasi sosial keagamaan, semacam NU, Muhammadiyah, Persis dan senisnya. Partisipasi dalam organisasi kesiswaan menjadi pembimbing karya ilmiah, penguji karya ilmiah, penasehat organisasi intrakulikuler, semisal OSIS dan sejenisnya.
Untuk memenuhi persyaratan sertifikasi ini, menurut saya, masih banyak guru yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi tersebut. Namun, karena sudah mendapat panggilan, ia bekerja siang malam untuk memenuhi persyaratan tersebut secara tidak obyektif demi memenuhi persyaratan tersebut. Karena memenuhi persyaratan secara fair membutuhkan waktu yang lama dan kesungguhan dalam belajar, maka yang ditempuh adalah jalan pintas dengan mengambil sertifikat yang bukan miliknya.
Dengan demikian, sertifikasi bukan lagi menjadi ajang dimamistis skill dan profesionalisme guru, justru sebaliknya, menjadi ajang pembohong masal yang sangat mencederai pendidikan. Guru sebagai agen pencerahan intelektual dan penjaga moralitas tega menodai visi dan misi sucinya demi mendapatkan sertifikat mengajar dengan iming-iming tunjangan yang mengiurkan.
Gara-gara program sertifikasi ini, komersialisasi acara-acara ilmiah dengan label yang menggiurkan bermunculan,. Sedikit-sedikit mengadakan pelatihan guru, diskusi, seminar, simposium dan sejenisnya dengan level regional, bahkan banyak yang nasional. Peserta dijanjikan mendapat sertifikat berlabel nasional atau regional, namun harus membayar uang adminitrasi yang lumayan mahal.
Mereka yang biasanya mengikuti acara seminar meski gratis, gara-gara sertifikasi ini, mereka sangat mengikuti acara seminar walau harus membayar mahal. Hal ini positif, namun banyak diantara mereka yang titip beli sertifikat tanpa mengikuti acara semina, diskusi, dan simposium yang dimaksud. Pesoalan materi seminar tidak penting. Lagi-lagi, disini ada pembohongan publik yang dilakukan secara sistematis.
Disinilah kebijakan pemerintah dalam sertifikasi ini perlu di kritisi agar sertifikasi ini betul-betul mampu mengugah semangat berkompetisi guru dalam meningkatkan kemampuan intelektualitas dan dedikasi sosialnya secara optimal. Bukan sebagai ajang pembohogan publik yang menodai esensi pendidikan demi mendapatkan kompensasi materi. Pemerintah seharusnyamenyiapkan infrastruktur dan suprastruktur yang mapan dan representatif sebelum melahirkan sebuah kebijakan yang bisa menyebabkan terjadinya distorsi, anomali dan ambiguitas makna.
Sekian dan terima kasih