--> Skip to main content

Tata Wajah (Tipografi) dalam puisi

Tipografi merupakan pembedaan yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodesitet yang disebut paragraph. Namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ketepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, hal mana tidak belaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Ciri yang demikian menunjukan eksistensi sebuah puisi.

Baris-baris prosa dapat saja disusun seperti tipografi puisi. Namun makna prosa tersebut kemudian akan berubah menjadi lebih kaya. Jika prosa itu ditafsirkan sebagai puisi. Sebaliknya, jika orang tetap menafsirkan puisi sebagai prosa, tipografi tersebut tidak berlaku. Cara sebuah teks ditulis sebagai lari-larik yang khas menciptakan makna tambahan.

Sebagai contoh Intoyo salah seorang penyair pujangga baru menulis tipografi puisi sebagai berikut.
Rasa baru
Zaman beredar!1
Alam bertukar!
Suasana terisi nyanyian hidup.
Kita manusia
Terkarunia

Badan, jiwa, bekal serta cukup.
Marilah bersama
berdaya upaya,
Mencemerlangkan apa yang redup.
Memperbaharu
Segala Laku,

Mengembangkan semua kuncup.
Biar terbuka
Segenap rasa

Rasa baharu, dasar harmoni hidup.
Kata-kata yang disusun mewujudkan larik-larik yang panjang dan pendek, yang membentuk suatu kesatuan padu. Pergantian larik panjang dan pendek sedemikian bervariasi secara harmonis sehingga menimbulkan ritma yang padu.

Dalam puisi "Kuncup", J. E. Tatengkeng menyusun tapografi yang agak berbeda dari puisi biasa.





Salah satu puisi yang di muat dalam "Pujangga Baru" menunjukan tipografi puisi Armijn Pane yang lain dari puisi Angkatan Pujangga Baru yang lain.
Hamba Buruh
Aku menimbang-nimbang mungkin,
    Kita berdua menjadi satu;
Gaji di hitung-hitung,
    Cukup tidak untuk berdua.

Hati ingin sempurna dengan engkau,
    Sama derita sama gembira,
Kepala pusing menimbang-nimbang,
    Menghitung-hitung uang bagi kita.

Aku ingin hidup damai tua,
    Pingin anak istri setia:
Kalbu pecah merasa susah,
    Hampar buruh apa dikata.

(Pujangga baru)
Larik yang menjorok ke tengah halaman memberikan jawaban kepada larik sebelumnya. Antara larik yang menyepi dan larik yang menjorok membentuk hubungan kasual. Disamping itu, tata wajah yang diciptakan Armijn Pane juga menyebabkan ritma puisi menjadi padu.

Rahim Qahhar, salah seorang penyair kontemporer, menciptakan tata wajah yang tidak konvensional:





Demikianlah tipografi dalam puisi yang menjadikan pembeda dalam puisi dengan prosa dan drama.

Sekian dan terima kasih
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar