Lingsem
Sejumlah kasus di tengah masyarakat, yang bersumber dari perbedaan pendapat atau konflik kepentingan antara pemerintah dan rakyat, saya perhatikan sering kali bergeser subtansinya. Misalnya, dari subtansi "tanah" berubah menjadi persoalan "harga diri".
Dalam situasi lingsem, orientasi para pelaku konflik bukan hukum lagi target dan efektivitas penyelesaian masalah melainkan subjektivitas rasa untuk tidak mau kalah atau untuk harus menang. Dan kalau soalnya sudah terpolarisasi menjadi kerangka kalah menang, sesungguhnya peluang yang teersedia paling lebar adalah tampilnya kekuasaan.
Ini sangat rawan. Karena, kita langsung dapat membayangkan arti kekuasaan bagi suatu otoritas politik yang disebelah tangannya tergenggam peralatan militer. Juga bisa kita bayangkan bahwa arti kekuasaan bagi pihak yang menggengam otoritas adalah tidak lain kesediaan untuk mati, "bunuh diri", atau setidak-tidaknya sikap "masokhisme".
Jika situasi lingsem tak bisa dikurangi dan jika belalunya waktu menyeret persoalan itu kesuatu momentum ketika upaya penyelesaian tak lagi bisa ditunda; "teori"-nya, yang sangat mungkin terjadi adalah lagi-lagi "misteri politik" ketika data tentang yang kalah dan yang menang, tak lagi bisa dilacak di lembar-lembar manapun dari buku-buku sejarah.
Kalau sudah demikian, yang kalah bukan lagi sejumlah orang. Yang kalah adalah kemanusiaan, kedewasaan, demokrasi, peradaban dan nilai-nilai luhur lain yang semestinya menjadi tanda-tanda utama dari kehidupan manusia.
Keterikat dan ketergantungan komunitas manusia sistem-sistem institusi, birokrasi, relatifnya kadar keadilan suatu peratuaran atau undang-undang akan memepersulitkan kemungkinan penyelesaian persoalan, atau setidaknya kurang akomodatif terhadap kemungkinan formula-formula problem solving atas permasalahan.
Terkadang, naifnya, agar keadilan bisa dicapai atau didekati, diperlukan "pelanggaran" terhadap aturan-aturan tertentu yang sudah terlanjur memiliki keabsahan yang yuridis dan birokratis. mengapa? karena aturan-aturan tersebut lahir tidak sungguh-sungguh di bidangi oleh rasa pemahaman keadilan yang mendalam. Maka, salah satu sisi potret kasunya adalah konflik peraturan melawan keadilan.
Keadaan menjadi sangat runyam tatkala juga karena lingsem suatu pihak berlindung pada logika birokrasi untuk mengidentifikasikan keadilan dengan peraturan dan undang-undang, kemudian antara peraturan serta undang-undang dan otoritas kepemerintahan, kemudian antara otoritas kepemerintahan dan otoritas negara. Padahal realitas permasalahan tersebut menujukan polarisasi antara negara dan rakyat.
"Film" realitas tersebut akhirnya menjadi serial dan mungkin horor; di satu pihak ada pemerintah dengan wajah negara, dilain pihak ada rakyat berwajah pembangkang negara. Padahal, pemerintah tidak selalu sama dan sebangun dengan negara. Bahkan, bisa saja kepentingan pemerintah berbeda atau bertentangan dengan kepentingan negara.
Padahal juga, wajah pembangkangan rakyat itu tercipta dari tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan sesuatu hal yang menyangkut mereka. Sangatlah tidak bahagia untuk hidup di suatu negara tempat ada kasus-kasus yang membuat pemerintah hanya bisa melihat rakyat sebagai "pembangkang". Sebaliknya, rakyat juga hanya bisa melihat pemerintah sebagai "pembangkang kedaulatan rakyat".
Padahal, rakyat negeri kita terkenal gampang diajak bermusyawarah, lunak hatinya, luas dadanya, tinggi kesediaannya untuk berkorban demi kemajuan dan pembangunan.
Atau, Justru karena itu mereka lantas dianggap tidak perlu dijadikan subjek pembangunan yang turut memproses hari depannya, terutama untuk soal-soal yang langsung terkait dengan kepentingan mereka?
Yang tersisa hanya ada hanya ada dua pertanyaan; Pertama, mungkin peraturan diralat? Ataukah, SK dan DIP, atau bahkan undang-undang, itu sama mutlaknya dengan Allah SWT yang hakikat eksistensinya tak mungkin diubah oleh siapapun? Kedua, Formula kemanusian dan kearifan macam apakah yang bisa mengatasi status perundangan dan subjektivitas lingsem yang memang manusiawi itu?
Tangan siapa yang cukup sakti dan berwibawa untuk sanggup menggenggam formula ampuh itu?
Lingsem (Jawa) adalah sesuatu keadaan psikologi ketika seseorang mempertahankan sesuatu tidak lagi karena objektivitas suatu persoalan, karena fokus permasalahannya sudah menjadi bagian dari privacy harga diri.
Pergeseran itu bisa terjadi karena kadar subjektivitas pelakunya, tetapi bagian dalam kasus-kasus yang saya maksudkan ia lebih bersumber pada ketidaktepatan pendekatan yang dipakai untuk menyelesaikan persoalan yang ada.Dalam situasi lingsem, orientasi para pelaku konflik bukan hukum lagi target dan efektivitas penyelesaian masalah melainkan subjektivitas rasa untuk tidak mau kalah atau untuk harus menang. Dan kalau soalnya sudah terpolarisasi menjadi kerangka kalah menang, sesungguhnya peluang yang teersedia paling lebar adalah tampilnya kekuasaan.
Ini sangat rawan. Karena, kita langsung dapat membayangkan arti kekuasaan bagi suatu otoritas politik yang disebelah tangannya tergenggam peralatan militer. Juga bisa kita bayangkan bahwa arti kekuasaan bagi pihak yang menggengam otoritas adalah tidak lain kesediaan untuk mati, "bunuh diri", atau setidak-tidaknya sikap "masokhisme".
Jika situasi lingsem tak bisa dikurangi dan jika belalunya waktu menyeret persoalan itu kesuatu momentum ketika upaya penyelesaian tak lagi bisa ditunda; "teori"-nya, yang sangat mungkin terjadi adalah lagi-lagi "misteri politik" ketika data tentang yang kalah dan yang menang, tak lagi bisa dilacak di lembar-lembar manapun dari buku-buku sejarah.
Kalau sudah demikian, yang kalah bukan lagi sejumlah orang. Yang kalah adalah kemanusiaan, kedewasaan, demokrasi, peradaban dan nilai-nilai luhur lain yang semestinya menjadi tanda-tanda utama dari kehidupan manusia.
Keterikat dan ketergantungan komunitas manusia sistem-sistem institusi, birokrasi, relatifnya kadar keadilan suatu peratuaran atau undang-undang akan memepersulitkan kemungkinan penyelesaian persoalan, atau setidaknya kurang akomodatif terhadap kemungkinan formula-formula problem solving atas permasalahan.
Terkadang, naifnya, agar keadilan bisa dicapai atau didekati, diperlukan "pelanggaran" terhadap aturan-aturan tertentu yang sudah terlanjur memiliki keabsahan yang yuridis dan birokratis. mengapa? karena aturan-aturan tersebut lahir tidak sungguh-sungguh di bidangi oleh rasa pemahaman keadilan yang mendalam. Maka, salah satu sisi potret kasunya adalah konflik peraturan melawan keadilan.
Keadaan menjadi sangat runyam tatkala juga karena lingsem suatu pihak berlindung pada logika birokrasi untuk mengidentifikasikan keadilan dengan peraturan dan undang-undang, kemudian antara peraturan serta undang-undang dan otoritas kepemerintahan, kemudian antara otoritas kepemerintahan dan otoritas negara. Padahal realitas permasalahan tersebut menujukan polarisasi antara negara dan rakyat.
"Film" realitas tersebut akhirnya menjadi serial dan mungkin horor; di satu pihak ada pemerintah dengan wajah negara, dilain pihak ada rakyat berwajah pembangkang negara. Padahal, pemerintah tidak selalu sama dan sebangun dengan negara. Bahkan, bisa saja kepentingan pemerintah berbeda atau bertentangan dengan kepentingan negara.
Padahal juga, wajah pembangkangan rakyat itu tercipta dari tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan sesuatu hal yang menyangkut mereka. Sangatlah tidak bahagia untuk hidup di suatu negara tempat ada kasus-kasus yang membuat pemerintah hanya bisa melihat rakyat sebagai "pembangkang". Sebaliknya, rakyat juga hanya bisa melihat pemerintah sebagai "pembangkang kedaulatan rakyat".
Padahal, rakyat negeri kita terkenal gampang diajak bermusyawarah, lunak hatinya, luas dadanya, tinggi kesediaannya untuk berkorban demi kemajuan dan pembangunan.
Atau, Justru karena itu mereka lantas dianggap tidak perlu dijadikan subjek pembangunan yang turut memproses hari depannya, terutama untuk soal-soal yang langsung terkait dengan kepentingan mereka?
Yang tersisa hanya ada hanya ada dua pertanyaan; Pertama, mungkin peraturan diralat? Ataukah, SK dan DIP, atau bahkan undang-undang, itu sama mutlaknya dengan Allah SWT yang hakikat eksistensinya tak mungkin diubah oleh siapapun? Kedua, Formula kemanusian dan kearifan macam apakah yang bisa mengatasi status perundangan dan subjektivitas lingsem yang memang manusiawi itu?
Tangan siapa yang cukup sakti dan berwibawa untuk sanggup menggenggam formula ampuh itu?