Sakit Jiwa Sosial
Kalau orang sakit panas, mungkin bisa dicarikan terapi dengan acuan Nabi Ibrahim. Kalau stres, berkaca pada Nabi Ayyub. Soal-soal pencernaan, nempil sedikit ke Nabi Muhammad. Atau banyak komplikasi fisis yang sumbernya dari terpotongnya hubungan antara manusia modern dan manajemen cinta serta kesehatan model Nabi isa dan Nabi Daud.
Adapun yang paling gampang, tentu saja kalau kita terkena santet atau tenung. Lebih gampang lagi, apabila seorang pasien menginsafi bahwa dia bukanlah pasien, melainkan dokter atau dukun atas dirinya sendiri.
Di dalam segala filosofi ilmu ketabiban, kesehatan dan kesembuhan, dapat kita katakan bahwa pihak pertama adalah Allah dan pihak kedua adalah si penderita sedangkan dokter, psikiater, atas mas dukun tak lebih dari pihak ketiga, yang tidak dimiliki hampir semua orang yang pada keadaan tertentu berduyun-duyun mendaftarkan dirinya menjadi pasien yang mebuat seorang pelayan disebut dokter, pembantu disebut psikiater dan seorang buruh disebut dukun.
Makhluyang bernama kesehatan atau kesembuhan telah diklaim dan dikapling sebagai milik khusus dan hak khusus serta otoritas khusus para dokter, psikiater dan dukun. Makhluk itu menjadi komoditi dunia profesional, sementara masyarakat tak punya posisi lain kecuali sebagai konsumen dari komoditi itu.
Padahal, produsen utama dari kesehatan dan kesembuhan pada hakikatnya adalah orang yang sedang digauli oleh suatu penyakit itu sendiri. Adapun “Produsen Agung”-nya tentu saja Allah sang pemilik segala ‘arsy dan awang-uwung.
Terus terang saja itulah yang secara rutin menjadi bahan pusingnya kepala Mas Dukun. Orang memandangnya segala juru penyembuh: orang berdatangan untuk pasrah bongkokan sambil melontarkan kalimat penyekutu tuhan “Saya yakin hanya Mas Dukun yang bisa menyembuhkan saya”. Masyaallah..
Gampang sekali orang menomor satukan yang nomor dua. Gampang sekali orang menuhankan yang bukan tuhan.
Kalau problem yang dibawa seseorang itu bersifat praktis (misalnya penyakit fisik ala kadarnya atau santet atau semacam kesurupan) Mas Dukun tanpa banyak cingcong menanganinya.
Tetapi, kalau yang disodorkan kepadanya adalah efek dari penyakit-penyakit sosial, disinformasi dengan pemahaman-pemahaman hidup, Mas Dukun harus mereformasikan berbagai mismanagement tatanan nilai dalam dunia kesadaran dan kebawahsadaran orang tersebut.
Penyakit-penyekit semacam ini bukan main kompleks, luas dan ruwet. Terkadang ada orang yang memang tak sanggup lagi untuk memahami apa yang ditanggungnya. Lebih-lebih lagi merumuskan keruwetan-keruwetanya. Kebiasaan yang tinggal hanyalah menatap semacam kegelapan. Dan kegelapan itu adalah dirinya sendiri: dirinya gelap, sementara pandangannya juga buta sedemikian rupa.
Tetapi kadang kala tida sedikit anak-anak muda mendatangi Mas Dukun untuk menyodorkan sesuatu yang sesungguhnya sama sekali bukan problem. Dia berkata tentang buntu, kosong, bingung, deppressed, tetapi setelah digali bersama apa gerangan itu semua ternyata faktor-faktor itu sebenarnya tidak cukup potensial menindas mental mereka apabila saja terlatih untuk mendayagunakan akal sehat dan pengetahuan tentang pokok-pokok nilai kehidupan.
Seorang anak muda gagah ganteng, datang untuk mengungkapkan kebingungannya dan menagis, serta merasa buntu dan tak berarti, hanya karena dulu orang tuanya kaya sekarang melarat, sehingga ia tak bisa kuliah. Itu bukan problem. Itu keringkihan!
Adapun yang paling gampang, tentu saja kalau kita terkena santet atau tenung. Lebih gampang lagi, apabila seorang pasien menginsafi bahwa dia bukanlah pasien, melainkan dokter atau dukun atas dirinya sendiri.
Di dalam segala filosofi ilmu ketabiban, kesehatan dan kesembuhan, dapat kita katakan bahwa pihak pertama adalah Allah dan pihak kedua adalah si penderita sedangkan dokter, psikiater, atas mas dukun tak lebih dari pihak ketiga, yang tidak dimiliki hampir semua orang yang pada keadaan tertentu berduyun-duyun mendaftarkan dirinya menjadi pasien yang mebuat seorang pelayan disebut dokter, pembantu disebut psikiater dan seorang buruh disebut dukun.
Makhluyang bernama kesehatan atau kesembuhan telah diklaim dan dikapling sebagai milik khusus dan hak khusus serta otoritas khusus para dokter, psikiater dan dukun. Makhluk itu menjadi komoditi dunia profesional, sementara masyarakat tak punya posisi lain kecuali sebagai konsumen dari komoditi itu.
Padahal, produsen utama dari kesehatan dan kesembuhan pada hakikatnya adalah orang yang sedang digauli oleh suatu penyakit itu sendiri. Adapun “Produsen Agung”-nya tentu saja Allah sang pemilik segala ‘arsy dan awang-uwung.
Terus terang saja itulah yang secara rutin menjadi bahan pusingnya kepala Mas Dukun. Orang memandangnya segala juru penyembuh: orang berdatangan untuk pasrah bongkokan sambil melontarkan kalimat penyekutu tuhan “Saya yakin hanya Mas Dukun yang bisa menyembuhkan saya”. Masyaallah..
Gampang sekali orang menomor satukan yang nomor dua. Gampang sekali orang menuhankan yang bukan tuhan.
Kalau problem yang dibawa seseorang itu bersifat praktis (misalnya penyakit fisik ala kadarnya atau santet atau semacam kesurupan) Mas Dukun tanpa banyak cingcong menanganinya.
Tetapi, kalau yang disodorkan kepadanya adalah efek dari penyakit-penyakit sosial, disinformasi dengan pemahaman-pemahaman hidup, Mas Dukun harus mereformasikan berbagai mismanagement tatanan nilai dalam dunia kesadaran dan kebawahsadaran orang tersebut.
Penyakit-penyekit semacam ini bukan main kompleks, luas dan ruwet. Terkadang ada orang yang memang tak sanggup lagi untuk memahami apa yang ditanggungnya. Lebih-lebih lagi merumuskan keruwetan-keruwetanya. Kebiasaan yang tinggal hanyalah menatap semacam kegelapan. Dan kegelapan itu adalah dirinya sendiri: dirinya gelap, sementara pandangannya juga buta sedemikian rupa.
Tetapi kadang kala tida sedikit anak-anak muda mendatangi Mas Dukun untuk menyodorkan sesuatu yang sesungguhnya sama sekali bukan problem. Dia berkata tentang buntu, kosong, bingung, deppressed, tetapi setelah digali bersama apa gerangan itu semua ternyata faktor-faktor itu sebenarnya tidak cukup potensial menindas mental mereka apabila saja terlatih untuk mendayagunakan akal sehat dan pengetahuan tentang pokok-pokok nilai kehidupan.
Seorang anak muda gagah ganteng, datang untuk mengungkapkan kebingungannya dan menagis, serta merasa buntu dan tak berarti, hanya karena dulu orang tuanya kaya sekarang melarat, sehingga ia tak bisa kuliah. Itu bukan problem. Itu keringkihan!