--> Skip to main content

Sikap Bahasa



Menurut Koentjaraningrat (1992) salah satu faktor penyebab rendahnya mutu atau kualitas bahasa Indonesia oleh banyak orang Indonesia adalah karena mereka memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia. Masalah kita sekarang apakah yang dimaksud dengan sikap negatif terhadap bahasa itu, atau secara umum apakah yang disebut sikap bahasa (language attitude) itu.

Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan sikap bahasa itu, terlebih dahulu haruslah dijelaskan apa itu sikap. Dalam bahasa Indonesia ada dua makna sikap. Pertama, sikap berarti atau mengacu pada bentuk tubuh, atau posisi berdiri yang tegak. Kedua, berarti gerak-gerik perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, singkat dalam arti kedua ini adalah fenomena kejiwaan yang biasanya termanifestasikan dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun, menurut banyak penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahiriyah merupakan cerminan dari sikap batiniyah. Atau yang terdapat dalam batin tidak selalu keluar dalam bentuk perilaku yang sama yang ada dalam batin. Banyak faktor yang mempengaruhi hubungan sikap batin dan perilaku batin.

Oleh karena yang namanya sikap sikap ini yang berupa pendirian (pendapat atau pandangan) berada dalam batin, maka tidak dapat diamati secara empiris. Namun, menurut kebiasaan bila tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi sikap yang ada di dalam batin dapat diduga dari tindakan dan perilaku lahir. Memang ada kemungkinan orang yang dalam batinnya sedih, tetapi tidak menampakkannya dalam tindakan atau perilaku lahir. Atau banyak juga orang yang bersikap pura-pura, seperti sedih, sebenarnya dalam batinnya marah, tetapi tidak menunjukan tindakan marah secara lahir.

Banyak penelitian yang dilakukan terhadap yang disebut sikap itu, terutama dalam kaitannya dalam psikologi sosial. Triandis (1971: 2-4), misalnya, berpendapat bahwa sikap kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada sikap mental atau kepada sikap “perilaku”. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan syaraf, yang terbentuk dalam pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sedangkan Lambert (1969: 91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.

Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka, atau tidak suka terhadap suatu keadaan, jika seseorang memiliki nilai rasa baik, atau suka terhadap suatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif. Lalu komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaksi terhadap suatu keadaan. Melalui komponen konatif inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya.

Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya satu sama lain berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman “menyenangkan” atau “tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Kalau ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukan sikap (batin), tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap.

Banyak pakar yang memang menyatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukan sikap. Edward (1957: 7), misalnya, menyatakan bahwa sikap hanyalah suatu faktor, yang juga tidak dominan, dalam menentukan perilaku. Lalu, Oppenheim (1976: 71-75) malah dengan lebih tegas menyatakan, bahwa kita belum tentu dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sedangkan Sugar (1967) berdasarkan penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu sikap, norma, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa kebiasaan adalah faktor yang paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang paling lemah. Jadi, dengan demikian, jelas bahwa sikap bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku, dan juga bukanlah yang paling menentukan. Yang paling menentukan perilaku adalah kebiasaan.

Sejalan dengan Sugar, maka Oppenheim (1976: 75-76) menyatakan bahwa kita belum tentu dapat meramalkan perbuatan atas dasar sikap belaka. Sikap tidak hanya disimpulkan dari perbuatan, sebaliknya, perbuatan tidak dapat dengan sendirinya merupakan pernyataan sikap yang lebih besar daripada pernyataan verbal. Kaitan anatara sikap dan perbuatan adalah jaringan yang sangat rumit. Sementara itu, Edward (1957) menegaskan bahwa sikap sebagai penentu perbuatan hanyalah merupakan salah satu faktor saja dan belum tentu merupakan faktor terkuat. Maka, kalau kita hendak meramalakan perbuatan atas dasar perasaan atau sikap, faktor-faktor lain juga harus diperhitungkan. Sebaliknya, jika hendak menyimpulkan sikap atas dasar pengamatan perbuatan, faktor-faktor lain juga diperlukan. Dalam hal ini Triandist (1971: 6-16) malah menyatakan bahwa asumsi yang menyatakan sikap merupakan faktor perbuatan seseorang adalah tidak benar, paling tidak pernyataan yang lemah. Dia berpendapat malah sebaliknya, yaitu bahwa perbuatanlah yang menentukan sikap. Hubungan antara sikap dan perbuatan itu memang ada. Sikap berkaitan dengan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan ingin dilakukan oleh seseorang sehubungan adanya sesuatu atau sesuatu keadaan. Namun, perbuatan itu bukan hanya muncul berdasarkan keinginan belaka, tapi juga ditentukan oleh norma sosial yang berlaku, kebiasaan yang biasa dilakukan, dan oleh pikiran apa yang mungkin timbul bila perbuatan itu dilakukan.

Pakar lain, Anderson (1974: 37) membagi sikap itu atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan, dan (2) sikap non kebahasaan, seperti, sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini (kebahasaan dan non kebahasaan) dapat menyangkut keyakinan atau kognisi mengenai bahasa. Maka dengan demikian, menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sedangkan mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun, perlu diperhatikan karena sikap itu bisa positif (kalau dinilai baik atau disukai), dan bisa negatif (kalu dinilai tidak baik atau tidak disenangi), maka sikap terhadap bahasa pun demikian. Umpamanya, sampai akhir tahun lima puluhan masih banyak golongan intelektual di Indonesia yang masih bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, disamping mereka yang bersikap positif (lihat Chaer, 1993). Keadaan sekarang memang sudah jauh berubah, yang bersifat negatif terhadap bahasa Indonesia sudah jauh berkurang jumlahnya. Hal ini terjadi berkat penjelasan, penerangan, dan kampanye yang dilakukan banyak pihak mengenai kemampuan bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa nasional, bahasa negara, bahasa ilmu pengetahuan, malah bahasa perhubungan antarbangsa, setidaknya di kawasan Asia Tenggara.

Menurut Garvin dan Mathiot (1968) ada tiga ciri sikap bahasa, yaitu, (1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh lain, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang membanggakan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, dan (3) kesadaran adanya norma bahasa (awakeness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).

Ketiga ciri yang dikemukakan Mathiot di atas merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya kalau ketiga ciri sikap bahasa itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap bahasa telah melanda diri orang atau kelompok orang itu. Tiadanya gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu tanda bahwa kesetiaan bahasa mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap suatu bahasa bisa terjadi juga bila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Memang banyak faktor yang bisa menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap bahasa lain, antara lain faktor politik, ras, etnis, gengsi, dan sebagainya. Pada tahun lima puluhan banyak orang Indonesia yang merasa dirinya Belanda, bukan hanya tidak mempunyai rasa bangga terhadap bahasa Indonesia, malah malu untuk menggunakannya. Takut disebut “orang Indonesia”. Sikap negatif terhadap bahasa akan terasa lagi akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap ini akan tampak dalam keseluruhan tindak tuturnya. Tidak adanya kesadaran akan adanya norma bahasa membuat orang-orang seperti itu tidak merasa kecewa dan malu kalau bahasa yang digunakan kacau balau. Bila ditegur, mereka malah akan menyatakan “norma-norma adalah urusan para guru dan ahli bahasa, bukan urusan kita, orang awam”.

Berkenaan dengan sikap bahasa negatif terhadap bahasa Indonesia, Halim (1978: 7) berpendapat bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah sikap negatif itu menjadi sikap bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, disamping norma-norma sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun, apakah berhasil masih tergantung lagi pada motivasi belajar siswa, yang banyak ditentukan oleh sikap siswa, terhadap bahasa yang sedang dipelajarinya.

Menurut Lambert (1967) motivasi belajar ini mungkin berorientasi pada perbaikan nasib yang disebutnya orientasi instrumental, dan mungkin juga berorientasi pada keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari, yang disebut orientasi integratif. Mengenai orientasi instrumental banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemahamannya luas, banyak dibutuhkan, dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang. Sedangkan orientasi integratif banyak terjadi bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya banyak digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnis tertentu.

Dari pembicaraan mengenai sikap bahasa di atas, yang bersikap postif, seperti dikemukakan Garvin dan Mathiot, akan (1) memiliki kesetaraan bahasa, (2) memiliki kebanggaan bahasa, (3) memiliki kesadaraan akan adanya norma bahasa. Lalu yang bersikap negatif tidak akan memiliki ketiga hal tesebut, akan menyebabkan orang akan menggunakan bahasa miliknya dengan tidak baik, akan menggunakan bahasa miliknya dengan menggunakan prinsip “pokoknya mengerti” (termasuk juga dengan mencampur-kode bahasa miliknya dengan bahasa orang lain), dan akan menggunakan bahasa yang bukan miliknya.

Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa Indonesia oleh orang Indonesia, tampaknya kelompok pertama menggunakan bahasa dengan baik dan benar memang ada, tetapi sukar diprediksi jumlahnya karena bagi hampir sebagian orang Indonesia bahasa Indonesia bukanlah bahasa pertamnya. Bahasa pertama mereka adalah bahasa daerah masing-masing. Yang berbahasa pertama bahasa Indonesia tentunya ada, tetapi berapa jumlahnya belum ada penelitian ke arah itu.

Kemudian yang berbahasa Indonesia dengan pokoknya “asal mengerti” tentunya, seperti Koentjaraningrat (1991) memang banyak. Mereka ini tentunya yang menyandang sikap negatif. Dalam hal ini mereka perlu dibedakan dari kelompok orang yang menggunakan bahasa yang “belum sempurna”. Kelompok ini tidak bersikap negatif, mereka bersikap positif, hanya pendidikan kebahasaindonesiaan mereka yang belum sempurna. Kalau pendidikan kebahasaindonesiaannya sudah sempurna mereka tentu dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Sejak zaman reformasi tampaknya penggunaan bahasa Inggris oleh orang Indonesia semakin marak, baik sebagai alihkode, sebagai campurkode, maupun sebagai langue. Sebagai alihkode, artinya, kalimat-kalimat bahasa Inggris digunakan secara bergantian dengan kalimat-kalimat bahasa Indonesia dalam satu wacana atau suatu pokok tataran. Sebagai campurkode, artinya, serpihan-serpihan bahasa Inggris dimasukan atau digunakan dalam berbahasa Indonesia, dan hal ini adalah yang paling banyak dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan langue adalah bahasa Inggris digunakan dalam satu wacana atau satu pokok tataran secara utuh. Penggunaan bahasa Inggris sebagai satu langue ini, menurut Mulkan (1987) sampai pertengahan tahun delapan puluhan belum terjadi, tetapi sejak 2003 sudah terjadi. Yang melakukan malah Pemerintah Republik Indonesia sendiri (Kemendiknas) yang mendirikan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, di samping bahasa Indonesia.

Dala kasus digunakannya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar proses belajar-mengajar di RSBI dan SBI, tampaknya para pejabat pengambil keputusan bukan hanya mewakili sikap negatif terhadap bahasa Indonesia, tetapi mereka juga telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945, dan yang lebih parah lagi mereka telah mengalami erosi rasa kebangsaan. Lalu akibat lebih jauh dari digunakannya bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa pengantar dalam pendidikan formal akan berdampak yang sangat negatif dalam pembinaan bahasa Indonesia melaui sekolah-sekolah formal.

Sikap negatif terhadap bahasa Indonesia bercampur dengan erosi rasa kebangsaan banyak menghinggapi anggota masyarakat Indonesia. Sebagai contoh kita lihat saja nama-nama acara pada stasiun televisi yang sudah full English meskipun acaranya berlangsung dalam bahasa Indonesia, seperti Headline News, Breaking News, Today’s Dialogue, Economics challenger, Journalist Duty, Midnight Live, Family Financing Market, dan sebagainya. Lalu, dua buah Universitas di Jakarta, memiliki motto Building Future Leader (Universitas Negeri Jakarta), dan Leading With Japanese Spirit (Universitas Darma Persada). Malah dalam papan proyek pembangunan gedung Universitas Negeri Jakarta, terpampang nama Universitas itu dalam bahasa Inggris The State University of Jakarta, dan gedung-gedung yang dibangun disebut, Building I, Building II, Building III.

Semangat otonomi daerah juga telah menyebabkan pejabat-pejabat pemerintahan di wilayah Jakarta menjadi terjangkit erosi rasa kebangsaan serta lupa akan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga di wilayah Jakarta Timur banyak papan yang bertuliskan Nyok Bareng-Bareng Kite Jage dan Bangun Jakarta Timur. Lalu di muka lokasi pembayaran rekening PAM di Jakarta Timur ada tulisan berbunyi Pipa Bocor Jangan Diliatin Aje.

Semua ini menunjukan telah terjadinya sikap negatif terhadap bahasa Indonesia, yang bercampur dengan pelanggaran Undang-Undang Dasar 1945 dan adanya erosi rasa kebangsaan.

Jika dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah tidak dirubah konsep pengajarannya, maka bisa jadi lima tahun kedepan, tidak ada lagi generasi bangsa yang bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Saat ini bahasa gaul lebih trendi dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Padahal, dalam sumpah pemuda sudah jelas dinyatakan “kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Jadi tidak ada alasan lagi bagi para penerus bangsa, untuk tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah cara menghindarkan diri dari erosi rasa kebangsaan.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar