--> Skip to main content

Gambaran Puisi Indonesia

Puisi adalah bentuk karya sastra yang paling tua. Karya besar yang bersifat abadi seperti; Mahabarata, Ramayana, Wedatama, Tripama, Babad Tanah Jawi (sastra Jawa), Oedipus, Antigone, Hamlet, Machbeth, dan sebagainya, dikarang dalam bentuk puisi. Bentuk puisi yang paling tua adalah mantra. Didalam mantra tercermin hakikat yang sesungguhnya dari puisi, yakni bahwa pengonsentrasian kekuatan bahasa itu dimaksudkan oleh penciptanya untuk menimbulkan daya magis atau kekuatan gaib. Dalam perkembangan di Indonesia, kita terkenal berbagai jenis topografi dan model puisi yang menunjukan perkembangan struktur puisi tersebut. Ciri-ciri puisi dari jaman ke jaman dan dari periode ke periode tidak hanya di tandai oleh perbedaan struktur fisik, tetapi oleh struktur makna dan tematiknya.

1.  Mantra
Mantra terdapat di dalam kasusastraan daerah di seluruh Indonesia. Mantra berhubungan dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu dari Tuhan diperlukan kata-kata yang berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya di pandang untuk mempermudah kontak dengan Tuhan. Dengan cara demikian, apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh Tuhan.

Karena sifatnya sakral, mantra sering kali tidak boleh diucapkan oleh sembarangan orang. Hanya pawang yang berhak dan di anggap pantas mengucapkan mantra itu. Pengucapanpun harus di sertai dengan upacara ritual, misalnya asap dupa, duduk bersila, gerak tengan, ekspresi wajah, dan sebagainya.

Dari uraian diatas nyatalah bahwa sebuah mantra mempunyai kekuatan bukan dari struktur kata-katanya, namun juga terlebih dari struktur batinnya. Karena sifatnya yang sakral mantra tidak mudah di temukan.Namun, hampir semua daerah di Indonesia memiliki mantra. Berikut ini diberikan beberapa contoh mantra:
Mantra dari Jawa

Sang ireng jeneng muksa pangreksane
Sang ening mati jatine
Lakune ora katon pangrasane manungsa
Bismillahirrahmanirahim
Car mancur cahyaning Allah
Sungsum balung rasaning Pangeran
Getih daging rasaning Pangeran
Kulit wulu rasaning Pangeran
Iya ingsung mancuring Allah jatining manungsa
Nek putih rasane nyawa,
Badan Allah sak kalebut putih
Iya ingsun negara sampurna

(Subagio Sastrowardojo, 1984 : 286)
Mantra Menuai Padi dari Minangkabau

Hai si lansari - bagindo sari
si lansari - sari bagindun
engkau banama - banyak nama
si lansari - ka aku tunai
Urang kinari - pai baramah
Urang sungkarak - pai mandulang
Hai silansari - bagindo sari
marilah kita - pulang kerumah
serta dengan raja - raja engkau
yang berbaju - hadun tumadun


(Tamsir Medan, 1975 : 26)
Mantra "Dirasuk Polong" dari Riau

Long dalam long
Aku menawar si raja polong
Polong ditawar polong mati
Polong tak polong ti

Pihat patah perendah patah
Batah sekalian batang bertuah
Aku menawar do'a tiga patah
menawar hantu orang
Ting si kriting ......


(Subagio Sastrowardojo, 1984 : 208)
Dari contoh-contoh mantra tersebut dapat dirangkum beberapa ciri pokok dari mantra, yakni:
  1. Pemilahan kata sangat seksama.
  2. Bunyi-bunyi di usahakan berulang-ulang dengan maksud memperkuat daya sugesti kata.
  3. Banyak di pergunakan kata-kata yang kurang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan maksud memperkuat daya sugesti.
  4. Jika di baca secara keras mantra menimbulkan efek bunyi yang bersifat magis.
2.   Pantun dan Syair
Kedua jenis puisi ini adalah puisi lama yang paling terkenal. Jenis-jenis puisi lama lainya, ialah: talibun, gurindam, tersina, dan sebagainya. Jemis-jemis puisi lain selainpantun dan syair itu mempunyai struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair.

Pantun dan syair mrnunjukan ikatan yang kuat dalam hal struktur kebahasaan atau topografi atau struktur fisiknya. Struktur tematik atau struktur makna di kemukakan menurut aturan jenis pantun atau jenis syair. Ikatan yang memberi nilai keindahan dalam struktur kebangsaan itu berupa:
  • Jumlah suku kata setiap baris
  • Jumlah baris setiap bait
  • Jumlah bait setiap puisi
  • Aturan dalam hal ritma dan rima
Namun demikian, kenyataan kita mengenal klasifikasi jenis pantun dan syair yang menunjukan  bahwa dalam struktur makna itu ada aturan juga. Struktur makna dan syair mempunyai perbedaan. Pantu terdiri atas dua bagian, yakni sampiran dan isi. Sampiran merupakan dua baris pantun yang memiliki saran dan bunyi untuk menuju isi. Dalam syair tidak ada sampiran; semua baris syair mengandung isi atau makna yang hendak disampaikan.

Berikut ini beberapa contoh pantun:
Pantun Muda

Pecah ombak di Tanjung Cina
Menghempas pecah di tepian
Biarlah makan dibagi dua
Asal adik jangan tinggalkan
Pantun Tua

Bukit putus jalan ke Padang
Direndang jagung diangusi
Kata putus badan terbuang
Dipandang kampung ditangisi
 Berikut ini beberapa contoh syair:
Syair Ken Tambuhan (Cerita Panji)
Lalulah berjalan Ken Tambuhan
Diiringi penglipur dengan tadahan
Lemah lembut berjalan perlahan-lahan
Lakunya manis memberi kasihan

Tunduk menangis segala putri
Masing-masing berkata sama sendiri
Jahatnya perangai permaisuri
Lukanya seperti jin dan peri
Syair Si Burung Pungguk (Alegori)

Pungguk bangsawan hendak menitir
Tidak diberi kakanda satir
Adinda jangan tuan bersyair
Jikalau tuan guruh dan petir

Inilah teman orang bahari
Pungguk, wahai jangan tuan kemari
Bukannya tidak kakanda beri
Jikalau tuan di goda peri.
3.  Puisi Jawa
Untuk memberikan gambaran yang lebih kongkrit tentang hubungan antara struktur kebahasaan dengan struktur makna puisi, penulis memberikan ulasan tentang tembang Jawa (puisi Jawa). Di dalam tembang, struktur fisik dan struktur batin terpadu dengan seksama. Dalam proses penyusunan tembang Jawa, aturan struktur fisik dan struktur batin harus padu artinya aturan struktur fisik saja belum cukup karena harus memenuhi aturan batin yang di tentukan. Disinilah letak keunikan yang memperkaya puisi Jawa dan sekaligus menjadi contoh bahwa didalam puisi, struktur fisik tidak dapat dilepaskan dari struktur batin dan juga sebaliknya.

Sebagai contoh dalam tembang Asmaradana, disamping di penuhi syarat-syarat struktur fisik yang berupa aturan bunyi (guru lagu), aturan bait (guru gatra) aturan baris dan suku kata (guru wilangan), juga harus watak karakteristik Asmaradana yang berupa: perasaan apa yang di ungkapkan, nada tembang itu bagaimana, tema dan amanat apakah yang tepat di ungakapkan melalui tembang Asmaradana tersebut. Perasaan dan nada tembang Asmaradana adalah perasaan sedih atau duka asmara. Tema dan amanat yang disampaikan berupa nasihat yang berhubungan dengan duka asmara tersebut. Setiap tembang jawa di bedakan dari tembang lainnya bukan hanya dari segi struktur fisiknya namun juga dari struktur batin yang hendak di ungkapkan.
Contoh tembang Asmaradana

Anjasmara ari mami
Masmirah kulako warto
Dasihmu tan wurung layon
Aneng kutha Purbalingga
Perang lan Urubisma
Karyo mukti wong ayu
Pun kakang pamit palastro
Aturan struktur fisik tembang Asmaradana adalah terdiri atas 7 baris, setiap bait (guru gatra 7 bait). Tiapa-tiap baris diatur dengan guru wilangan dan guru lagu (jumlah suku kata dan rima akhir), berupa 8-i, 8-a, 8-o, 7-a, 7-a, 8-u, dan 8-a. Sedangkan struktur batinnya harus mengungkapkan duka asmara. Nampak pula bahwa pilihan kata, lambang, kiasan, dan pengimajian mendukung sifat duka asmara tersebut.

4.  Puisi Baru
Jika pada Angkatan Balai Pustaka penulis puisi masih banyak di pengaruhi oleh puisi lama seperti pantun dan syair, maka pada Angkatan Pujangga Baru di ciptakan puisi baru. Para pencipta puisi baru berusaha melepaskan ikatan-ikatan puisi lama, tetapi kenyataanya ikatan itu dalam puisi baru masih nampak. Namun demikian, ikatan itu lebih bersifat longgar dibanding dengan ikatan puisi lama. Bentuk puisi yang disebut puisi baru ini dari sastra asing. Oleh sebab itu, namanya pun juga masih nama asing. Puisi-puisi yang dapat di klasifikasikan puisi baru ialah:
  • Distichon (2 baris)
  • Tersina (3 baris)
  • Quartrain (4 baris)
  • Quint (5 baris)
  • Six (6 baris)
  • Septima (7 baris)
  • Oktaf (8 baris)
Contoh:
Bukan Beta Bijak Berperi

Bukan beta bijak berperi
Pandai mengubah madahan syair
Bukan beta budak negeri
Musti menurut undangan mair.

Saraf-saraf saya mungkir
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma.

Susah sungguh saya sampaikan
Degub-degub di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya di gamat rasain waktu.

Sering saya susah sesaat
Sebab mudahan tidak nak datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurung lukisan mamang.

Buakan beta bijak berperi
Dapat melemah bingkaian pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun.

(Rustam Effendi)
Dalam puisi diatas, penyair bukan saja menulis bentuk puisi baru(quartrain), namun isinya juga menunjukan keinginan yang kuat untuk memberontak terhadap bentuk pantun dan syair. Namun bila kita simak, pembaharuan yang dailakukan Rustam Effendi belum tuntas. Rima akhir mirip dengan pantun. Irmanya masih irma puisi lama. Hanya isinya saja yang sudah menunjukan gagasan penyair sendiri. Namun demikian, isi puisi tersebut tidak dapat dikatakan intens.

5.  Puisi Angkatan 45
Pada angkatan 45 benar-benar terjadi revolusi dalam puisi. Ikatanpuisi lama sudah di tinggalkan. Jika ada mantra bentuk fisik di pentingkan dan dan makna tidak di pentingkan, pada puisi lama/puisi baru ada keseimbangan antara bentuk fisik dan bentuk batin puisi, maka pada angkatan 45 yang dipentingkan adalah makna atau bentuk batin puisi. Ikatan bentuk fisik puisi tidak dominan lagi. Unsur-sur pengaturan bahasa masih ada dan di gunakan secara kreatif (tidak statis).

Contoh:
Isa
Kepada nasrani sejati

Itu tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
Rubuh
Patah

Mendampar tanya: aku salah?

Kulihat Tubuh mengucur darah
Aku berkaca dalam darah

Terbayang terang dimata masa
Bertukar rupa ini segar

Mengatup luka

Aku bersuka

Itu tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah

(Chairil Anwar, Deru Campur Debu)
Dari ujud puisi diatas sudah nampak bahwa baris-baris dan bait-bait yang disusun tidak mengikuti pola puisi lama dan puisi baru. Chairil Anwar adalah pelopor revolusi bentuk puisi. Baginya bentuk fisik itu tidak penting. Yang terpenting adalah ujud pengucapan batin.

Kepadatan bahasa puisi di masa angkatan 45 di pandang kurang memuaskan. Puisi-puisi yang mementingkan isi dirasa kurang hiasan, terlalu kering. Sebab itu, sekitar tahun 1950-an muncul puisi-puisi romantik yang menonjolkan keindahan bahasa, ungkpan perasaan, dan kisah-kisah yang bagus. Namun demikian tidak berarti bahwa terdapat perbedaan yang fundamental antara periode 45 dengan periode 50. Isi atau bentuk pengucapan batin puisi masih tetap ditonjuolkan.

Contoh:
Tanah Kelahiran

Seruling di pasir ipis, meredu
Antara gundukan pohonan pina
Tembang menggema di dua kaki
Barangrang-Tangkupanprahu
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun

Membelit tangga di tanah merah
Dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang susah digal,i
Kenakan kebaya kepewayangan

Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di hati gadis menurun

(Ramadhan K.H., Priangan Si Jelita)
6.  Puisi Kontenporer
Sutardji Calzoum Bachri Di pandang sebagai pembaharu dunia puisi Indonesia. Jiak Chairil Anwar menempatkan makna dalam kedudukan yang paling penting, maka Sutardji menempatkan bentuk fisik (bunyi) dalam kedudukan yang terpenting. Tradji ingin mengembalikan puisi kepada matra. Ulangan kata, frasa, dan bunyi adalah kekuatan puisinya. Disamping itu, Tardji juga mengutamakan bentuk fisik berupa tulisan-tulisan yang mengandung maksud tertentu.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar