Limbuk Dan Cangik
Di dunia pewayangan, kita selalu betemu dengan dua tokoh wanita, yaitu Cangik dan Limbuk. Mereka berdua, selalu ditampilkan saat tiba pada adegan ‘keputren’ di suatu kerajaan. Ini merupakan suatu adegan yang boleh dikatakan selalu ada dan selalu di tunggu-tunggu di setiap pagelaran wayang kulit. Saking seringnya kedua tokoh ini tampil, sampai-sampai kita tidak pernah tahu atau tidak mau tahu, siapakah sebenarnya Cangik dan Limbuk itu. Cangik dan Limbuk, adalah dua orang wanita yang menjadi sahabat bagi sang putri atau permaisuri yang diikutinya.
Kesalahan terbesar dari kita sebagai pengamat dan penikmat pagelaran wayang, khususnya wayang kulit, adalah bahwa tokoh Cangik dan Limbuk seringkali kita pandang sebagai dua orang dayang-dayang atau kasarnya sebagai ‘pembantu’ seorang putri atau permaisuri raja. Ini merupakan kesalahan pemahaman yang bisa dikatakan fatal. Sebab Cangik dan Limbuk, sebenarnya bukanlah dayang-dayang dan bukan pula pembantu dalam pemahaman umum seperti yang kita kenal. Mereka berdua, adalah ‘panakawan’, yang artinya ‘sahabat’. Jika tokoh panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong; adalah panakawan bagi para tokoh ksatria; maka Limbuk dan Cangik adalah panakawan bagi tokoh putri atau permaisuri. Mereka berdua, bukanlah tokoh biasa. Mereka berdua, adalah tokoh yang peran dan fungsinya sangat luar biasa. Meskipun kenyataannya, mereka berdua kalah pamor dengan para panakawan kesatria yang lebih banyak diekspos dan ditampilkan.
Gambaran bahwa Cangik adalah wanita tua renta yang bertubuh jelek dan buruk rupa, merupakan gambaran yang benar-benar menggambarkan pemahaman kita yang salah terhadap Cangik. Begitu pula tentang Limbuk yang digambarkan tubuhnya tambun (gemuk) dan bermuka jelek. Cangik bukanlah wanita berwajah buruk seperti banyak dikatakan orang. Cangik, adalah gambaran seorang wanita tua yang sangat setia kepada majikannya. Ia adalah seorang wanita yang bertindak sebagai ‘rewang’ bagi majikan perempuan (misalnya: isteri, permaisuri). Bersama anaknya, yang bernama ‘Limbuk”, keduanya merupakan teman atau sahabat sejati, tempat sang putri atau permaisuri curhat, merenungkan kehidupannya, dan mendiskusikan kegundahan hatinya.
Mereka berdua adalah orang-orang dalam lingkungan terdalam suatu istana. Kalau memakai istilah jaman sekarang (kids jaman now), mereka berdua itu termasuk orang-orang yang ‘berada di lingkaran ring satu’, yang merupakan orang-orang kepercayaan yang berada paling dekat dan sangat erat hubungannya dengan orang terpenting di istana. Mereka juga ‘pemegang rahasia’ sang puteri atau permaisuri. Begitu dekat dan eratnya hubungan mereka dengan junjungannya, sehingga bisa dikatakan hubungannya jauh melebihi yang bisa dilakukan oleh seorang menteri atau mahapatih (menteri koordinator, menko).
Cangik, lazimnya digambarkan sebagai wanita dewasa yang banyak pengalamannya. Sedang Limbuk, lazimnya digambarkan sebagai wanita muda sedang magang (untuk nantinya menggantikan Cangik).
Cangik, lazimnya digambarkan sebagai wanita dewasa yang banyak pengalamannya. Sedang Limbuk, lazimnya digambarkan sebagai wanita muda sedang magang (untuk nantinya menggantikan Cangik).
Mengapa Limbuk digambarkan bertubuh gemuk dan Cangik bertubuh kurus?
Sebab, seseorang yang mengabdi tanpa pamrih kepada seseorang lainnya (junjungannya), meskipun ia semula bertubuh gemuk, jika pengabdian itu dilakukan tanpa pamrih, maka ia akan menjadi kurus dengan sendirinya. Kurus, menggambarkan orang yang jujur, sederhana, tidak banyak tuntutan, hidupnya tidak mengejar materi dan kekayaan. Juga menggambarkan sifat orang yang sederhana, tidak neka-neka. Limbuk yang tubuhnya tambun, menggambarkan seorang wanita yang masih muda dan masih memikirkan materi dan duniawi.
Cangik dan Limbuk, menggambarkan ‘asisten pribadi’ seorang putri/wanita. Di negara/kerajaan manapun, peran keduanya ini selalu ada. Bahkan di jaman sekarang pun (di abad ke-21) peran keduanya pun ada (dalam dunia yang nyata). Bahagialah anda, yang masih bisa menikmati kesetiaan mereka yang tanpa batas.
Demikianlah tulisan saya kali ini. Semoga ada manfaatnya dan salam budaya.