Komunikasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia
Praktik komunikasi pemerintahan di tentukan oleh sistem pemerintahan. Menurut Nazzmuzzaman, komunikasi dalam pemerintahan sentralistik berbeda dengan komunikasi pemerintahan desentralistik, misalnya, berbeda dengan komunikasi dalam pemerintahan pasca-Orde Baru yang desentralistik. Perbedaan tersebut, yaitu sebagai berikut.
Komunikasi Dalam Pemerintahan Orde Baru
Komunikasi pemerintahan Orde Baru lebih menekankan downward communication dengan arus informasi satu arah. Implikasi dari komunikasi pada sektor publik era Orde Baru yang sentralistis menyebabkan arus informasi cenderung kaku dan lamban.
Dalam berkomunikasi dengan warga, pemerintah cenderung memperlihatkan sikap kaku. Chief Excutive Officer (CEO) birokrasi, seperti presiden, gubernur, bupati dan walikota menjadi sentral informasi dan feedback kurang dihargai. Semua informasi publik seperti kebijakan dan keputusan lain bergantung pada pemerintah dan ditetapkan oleh sentral pemerintahan.
Komunikasi pemerintahan Orde Baru lebih menekankan downward communication dengan arus informasi satu arah. Implikasi dari komunikasi pada sektor publik era Orde Baru yang sentralistis menyebabkan arus informasi cenderung kaku dan lamban.
Dalam berkomunikasi dengan warga, pemerintah cenderung memperlihatkan sikap kaku. Chief Excutive Officer (CEO) birokrasi, seperti presiden, gubernur, bupati dan walikota menjadi sentral informasi dan feedback kurang dihargai. Semua informasi publik seperti kebijakan dan keputusan lain bergantung pada pemerintah dan ditetapkan oleh sentral pemerintahan.
Komunikasi Pemerintahan Pasca-Orde Baru
Komunikasi pemerintah pasca-Orde Baru yang didesentralistik relatif demokratis karena telah menempatkan bawahan (dalam komunikasi internal), warga dan dunia usaha (dalam komunikasi eksternal) sebagai sender.
Arus informasi, terutama untuk informasi pembuatan kebijakan, berjalan lancara atau memeperlancar aliran informasi secara dua arah. Informasi publik tidak lagi di kuasai oleh pemerintah. Keharusan bagi pemerintah untuk menyebar informasi publik kepada warga dan memanfaatkan public opinion dari masyarakat mengurangi atau memepersempit kesenjangan informasi (asymmetric information) antara pemerintah dan masyarakat, khususnya pra-penetapan kebijakan (ex ante), pembahasan kebijakan (internal) dan pasca-penetapan kebijakan (ex post).
Komunikasi pemerintah pasca-Orde Baru yang didesentralistik relatif demokratis karena telah menempatkan bawahan (dalam komunikasi internal), warga dan dunia usaha (dalam komunikasi eksternal) sebagai sender.
Arus informasi, terutama untuk informasi pembuatan kebijakan, berjalan lancara atau memeperlancar aliran informasi secara dua arah. Informasi publik tidak lagi di kuasai oleh pemerintah. Keharusan bagi pemerintah untuk menyebar informasi publik kepada warga dan memanfaatkan public opinion dari masyarakat mengurangi atau memepersempit kesenjangan informasi (asymmetric information) antara pemerintah dan masyarakat, khususnya pra-penetapan kebijakan (ex ante), pembahasan kebijakan (internal) dan pasca-penetapan kebijakan (ex post).
Komunikasi Pemerintahan Masa Reformasi
Komunikasi masa reformasi yang menekan demokrasi partisipasi menjadikan bawahan tidak hanya sebagai komunikan atau receiver yang sekedar menerima informasi dari atasan, tetapi berperan juga sebagai komunikator sehingga arus informasi berasal dari bawah keatas.
Dengan demikian, masa reformasi telah mengubah pola komunikasi downward dominan menjadi komunikasi upward dominan. Dalam praktiknya, komunikasi pemerintah pada masa ini menganut good governance yang menekan pada empat pilar, yaitu ketanggapan (responsivencess), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability) dan partisipasi (participation).
Pada perkembangan politik saat ini, sebagai dampak reformasi muncul berbagai pikiran mengenai negara dalam rangka mencari format yang tepat bagi pelaksanaan sistem politik di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah gagasan untuk memebentuk negara federal, menguatnya tuntunan otonomi, gugatan terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas otonomi, terbentuknya partai-partai politik yang semakin bertambah dan semakin maraknya unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai lapisan dan golongan masyarakat.
Dalam dunia komunikasi juga terjadi perkembangan baru, antara lain dicabutnya Keputusan Mentri Penerangan tentang Peraturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sehingga pengurusannya menjadi lebih mudah, terbangunnya keberanian moral dalam menyampaikan aspirasi dan koreksi meskipun kadang-kadang tidak sejalan dengan pemerintah, adanya toleransi yang tinggi dalam perbedaan pendapat, penggunaan media massa yang semakin berani dalam menyajikan fakta atau opini serta berbagai perkembangan lain yang pada akhirnya bermuara pada suatu komitmen, yaitu persatuan dan kesatuan tetap dapat dipelihara dalam dinamika yang sedang berkembang saat ini.
Komunikasi masa reformasi yang menekan demokrasi partisipasi menjadikan bawahan tidak hanya sebagai komunikan atau receiver yang sekedar menerima informasi dari atasan, tetapi berperan juga sebagai komunikator sehingga arus informasi berasal dari bawah keatas.
Dengan demikian, masa reformasi telah mengubah pola komunikasi downward dominan menjadi komunikasi upward dominan. Dalam praktiknya, komunikasi pemerintah pada masa ini menganut good governance yang menekan pada empat pilar, yaitu ketanggapan (responsivencess), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability) dan partisipasi (participation).
Pada perkembangan politik saat ini, sebagai dampak reformasi muncul berbagai pikiran mengenai negara dalam rangka mencari format yang tepat bagi pelaksanaan sistem politik di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah gagasan untuk memebentuk negara federal, menguatnya tuntunan otonomi, gugatan terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas otonomi, terbentuknya partai-partai politik yang semakin bertambah dan semakin maraknya unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai lapisan dan golongan masyarakat.
Dalam dunia komunikasi juga terjadi perkembangan baru, antara lain dicabutnya Keputusan Mentri Penerangan tentang Peraturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sehingga pengurusannya menjadi lebih mudah, terbangunnya keberanian moral dalam menyampaikan aspirasi dan koreksi meskipun kadang-kadang tidak sejalan dengan pemerintah, adanya toleransi yang tinggi dalam perbedaan pendapat, penggunaan media massa yang semakin berani dalam menyajikan fakta atau opini serta berbagai perkembangan lain yang pada akhirnya bermuara pada suatu komitmen, yaitu persatuan dan kesatuan tetap dapat dipelihara dalam dinamika yang sedang berkembang saat ini.