Komunikasi dan Sistem Pers Pancasila
Pancasila sebagai acuan normatif bangsa Indonesia
Sejak dikumandangkannya teks proklamasi oleh kedua tokoh proklamator Soeharto-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 dan disyahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia telah meletakkan pandangan hidup bangasanya kepada lima sila (Pancasila) sebagaimana yang dilihat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Rumusan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 itu memberikan penegasan tentang fungsi dan tujuan negara Indonesia, bentuk negara dan dasar falsafah negara Indonesia.
Pernyataan yang terkandung dalam alinea keempat UUD 1945 itu memberikan arti bahwa fungsi, tujuan dan bentuk negara Indonesia dilandasi pada makna filosofis yang terkandung di dalam kalimat setelah kata-kata "dengan berdasarkan kepada" tersebut, yaitu suatu rumusan yang akhirnya dikenal dengan Pancasila.
Sila dari lima sila (Pancasila) tersebut menjadi acuan normatif bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan segala bentuk kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang pada dasarnya mengatur kehidupan manusia Indonesia secara horizontal, yaitu cara berhubungan dengan sesama berdasarkan nilai yang terkandung dalam Pancasila itu. Nilai inilah yang menjadi dasar negara, jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Menjadi kepribadian bangsamemberikan arti bahwa Pancasila merupakan suatu ciri kepribadian Bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain, sekaligus memberikan watak tertentu bagi Bangsa Indonesia dalam kehidupan dan berinteraksi antarsesama.
Sebagai pandangan hidup bansa memberikan arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila telah diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad bagi Bangsa Indonesia untuk mewujudkannya.
Pancasila dalam kehidupan komunikasi
Jika dikaitkan dengan komunikasi, nilai yang terkandung dalam tiap-tiap sila dari Pancasila mempunyai implikasi khusus pada kegiatan komunikasi. Apabila dilihat dalam perspektif komunikasi tersebut, segala tingkah laku bangsa Indonesia dalam kehidupan dan kegiatan komunikasi dalam berbagai bidang, seperti bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, haruslah dilandasi oleh nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila.
Sistem pers Pancasila
Istilah pers Pancasila dikemukakan oleh M.Wonohito, seorang wartawan senior kenamaan, jauh sebelum dicanangkan secara resmi oleh Dewan Pers dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7 - 8 Desember 1984.
Alasan Wonohito untuk menampilkan Pancasila Press Theory adalah pers tidak dapat diangkat dan tidak dilepaskan dari struktur masyarakatnya. Oleh karena itu, struktur sosial politik bersifat menentukan bagi corak, sepak terjang, serta tujuan yang hendak dicapai oleh pers. Karena struktur sosial politik dilandasi masyarakat, pers pun berlandaskan atas sosial politik yang berkembang di masyarakat dan mencerminkan falsafah masyarakat.
Dalam pembahasannya itu, Wonohito menyinggung pula empat teori pers dari buku terkenal Fout Theories of the Press yang ditulis oleh Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Scramm. Menurutnya, keempat teori pers itu harus ditambahkan satu sistem lagi, yaitu Pancasila Press Theory, sebab falsafah pancasila melahirkan teori pers sendiri, yang tidak termasuk keempat teori tersebut.
Hingga kini, perdebatan mengenai definisi konsep dari sistem pers Pancasila masih terjadi dan belum mencapai satu kesepakatan pasti. Akan tetapi, menurut Bappenas:
"....sistem pers Pancasila, yaitu pers yang sehat, bebas dan bertanggungjawab serta lebih meningkatkan interaksi positif serta menggembangkan suasana saling percaya antara pers, pemerintahan dan golongan-golongan dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu tata informasi didalam kondisi masyarakat yang terbuka dan demokratis."